SELARASKAN UCAPAN DENGAN PERBUATAN
Oleh
: Muhammad Hidayat
Sering kita mendengar orang bilang;
"aku orangnya bla,bla....". Ada juga orang mengungkapkan "nanti,
saya akan melakukannya". Ucapan itu disampaikan untuk menunjukan jati diri.
Sayangnya, pernyataan itu dibantah sendiri. Bukan dengan ucapan, tapi dengan
perbuatan. Bukankah kita sering berbuat sesuatu yang tidak selaras dengan
penyataan. Kita bisa bilang diri kita itu sebagai orang yang begini begitu,
tetapi perbuatan menunjukkan hal yang berbeda dengan ucapan itu. Ingatlah,
manusia itu diukur dengan perbuatannya bukan dengan cakapnya.
Allah memerintahkan orang beriman
agar menyelaraskan perkataannya dengan ucapannya. Allah membenci orang yang
tidak menyesuaikan ucapannya dengan perkataannya. Anjuran itu termaktub dalam
surah Ash Shaf ayat 2 – 3. Redaksinya berbunyi:
2.
Wahai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
3.
Amat besar kebencian di sisi Allah jika
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan".
Ayat ini menggunakan kata "taf'aluun"
yang berbentuk fi'il mudhori'. Dalam bahasa Arab, fi'il mudhori'
adalah kata yang menunjukkan pekerjaan yang sedang dilakukan atau akan
dilakukan. Maka dari kata "taf'aluun" dapat disimpulkan, selaras perkataan dengan perbuatan ini dapat
dikelompokkan dalam dua sikap. Pertama; mengerjakan perbuatan yang
dijanjikan akan dilakukan. Kedua; tidak bercerita tentang perbuatan yang
tidak pernah dilakukan.
Menepati Janji dan
Tidak Bohong
Janji adalah bagian kehidupan
manusia. Kita selalu mengucapkan kata "saya akan" dengan mudah.
Sayangnya, jarang dipikirkan konsekuensi dari ucapan itu. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut
tanpa pertimbangan matang. Akibatnya, kita tidak serius melakukan perbuatan
yang telah kita janjikan itu.
Mungkin, saat berbicara kita
mengganggap perkataan itu biasa aja. Namun lawan bicara menilai pernyataan itu
sebagai sebuah komitmen yang akan dipenuhi. Hal ini membuat kepercayaan lawan
bicara kita hilang ketika pernyataan itu tidak dipenuhi. Kondisi paling parah,
kita dicap sebagai pembohong. Nah, kalau label pembohong telah menempel pada
diri seseorang maka ia akan sulit membangun hubungan dengan manusia lainnya.
Dalam surah Al-Maidah ayat 1, Allah
memerintahkan orang beriman supaya memenuhi janjinya. Redaksi ayat; "Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu". Para ulama mengatakan
kata aqad-aqad dalam ayat ini bermakna janji setia hamba kepada Allah serta perjanjian
sesama manusia dalam pergaulan sesamanya. Orang yang berjanji akan
mempertanggung jawabkan janjinya dihadapan Allah dan manusia. Allah
mengingatkan itu dalam surah Al Isra ayat 34, redaksinya; "penuhilah
janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya"
Selain menepati janji, orang beriman
dilarang bercerita tentang perbuatan yang tidak pernah dilakukan. Orang yang
mengatakan berbuat sesuatu tapi tidak melakukannya adalah perbuatan bohong. Ada
orang yang suka bercerita tentang sesuatu perbuatan padahal pekerjaan itu tidak
pernah dilakukannya. Hal ini dipicu dua hal. Pertama; menilai cerita
tersebut cuma guyonan. Saat bercerita sering kali tanpa kesadaran. Ia menilai
semua ucapannya hanya sebagai candaan tanpa makna. Orang seperti ini baru
memikirkan ucapannya jika menimbulkan dampak buruk bagi dirinya.
Kedua; sebagai upaya menarik simpati orang
lain (lawan bicara). Lazimnya, orang seperti ini mengisahkan pekerjaan yang sulit
dikerjakan orang kebanyakan. Termasuk juga pekerjaan yang bisa menimbulkan
kemaslahatan masyarakat. Harapannya, lawan bicara memberikan penilaian positif.
Kalau penilaian positif itu telah
didapat, maka ia akan mudah mengendalikan lawan bicaranya.
Korelasi Iman dengan Ucapan
Bohong atau ingkar janji adalah
aktivitas lidah. Karena, lidah itu mudah digerakkan maka acapkali orang
mengeluarkan kalimat bermuatan janji dan kabar bohong. Dalam Al-Quran banyak
memuat perintah menepati janji dan larangan berbohong. Kalau diperhatikan ayat tersebut,
ada kolerasi iman dan ucapan. Contohnya; ayat yang bercerita tentang janji lazimnya
dihubungkan dengan kata iman.
Al-Quran menyebutkan menepati janji
merupakan indikator orang yang bertaqwa. Hal itu diterangkan dalam surah Al-Baqarah
ayat 177. Dalam ayat itu dimulai dengan
kata "bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan". Pada lanjutan ayat, dijelaskan beberapa kreteria kebajikan
itu, salah satunya adalah menepati janji jika berjanji. Akhir ayat ditutup
dengan kalimat "mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa"
Merujuk ayat ini, menepati janji
adalah sebuah kebajikan. Kalau seorang mengingkari janjinya maka ia telah melakukan
suatu perbuatan buruk. Selain itu, kadar keimanannya dapat diukur dari komitmennya
menepati janji yang telah diucapkan. Jika seseorang, selalu melanggar janjinya
maka kadar keimanannya masih rendah. Alasanya, pada akhir ayat Qur'an menyebut
menepati janji adalah indikator orang yang shiddiq (benar imannya).
Ayat-ayat tentang perintah menyeleraskan
ucapan dengan perbuatan itu ditujukan kepada semua mukmin. Semua orang yang
beriman harus berkomitmen menepati janji yang telah diucapkan. Selain itu, seorang
mukmin tidak boleh mengakui-ngaku berbuat sesuatu padahal itu tidak pernah
dikerjakannya.
Saat ini masa kampanye Pemilu 2014.
Pada masa ini janji bermunculan. Para Caleg dengan mudah mengumbar janji dan
berita keberhasilannya. Pada baliho dan spanduk, Caleg memuat program kerja
yang akan dilakukan kalau terpilih. Hal ini
biasanya dilakukan oleh Caleg yang belum terpilih. Sebaliknya, Caleg
yang sedang menjabat di legislatif menonjolkan program kerja yang dibuatnya.
Sebagai Caleg muslim seharusnya menghindarkan
diri dari dari slogan kampanye yang tidak dapat dipenuhi. Bagi Caleg yang sedang
menjabat di legislatif seharusnya tidak menceritakan sesuatu yang tidak pernah
dilakukannya. Siapa pun – Caleg atau bukan – seharusnya seorang mukmin
berkomitmen menyelaraskan perkataan dengan perbuatan. Karena hal itu menjadi
indikator keimanan. (Tulisan ini dimuat dalam Rubrik Mimbar Jumat Harian Waspada Medan)