Senin, 03 Maret 2014

Menulis Tanpa Promosi


Penulis adalah Motivator, Author, dll.... Begitu ditulis di cover buku. Tujuannya, tidak lain supaya pembaca tertarik. Dulu waktu Imam Ghazali nulis Ihya Ulumiddin, atau Imam Syafii nulis Al Umm, atau Imam Adz Dzahabi nulis Syiar A'lam An Nubula, pake gitu enggak ya? Kayaknya di cover kitab itu gak ada ditulis apa-apa kecuali tulisan nama penulisnya. Misalnya, "ta'alliifu An Nawawi".

Tapi kitab mereka masih dibaca, mereka juga diakui sebagai ahli di bidangnya. Kalau baca sejarah, orang pasti baca Syiar A'lam An Nubula. Kalau belajar tasawwuf orang pasti baca kitab Al-Ghazali. Kalau belajar fiqih pasti buka kitab Syafii, An Nawawi, Zainuddin Al Malibari, dll. Bahkan tidak satu bidang saja. Imam Al Ghazali selain nulis buku tasawwuf juga nulis buku fiqih. Imam Syafii juga nulis tafsir.

Aku jadi teringat cakap seorang ustadz. Katanya; kalau kitab itu ditujukan untuk mengenal Allah dan syariat Allah, maka kitab itu akan terus awet, walau penulisnya telah wafat berpuluh-puluh tahun. Mereka tidak perlu promosi yang berlebih-lebihan, tetapi kitab mereka tetap laris manis.

Jadi marilah menulis untuk mengajak orang taat kepada Allah semata. Yakinlah, tanpa promosi yang berlebihan tulisan itu akan dibaca orang.

Mengenal Kekuasaan Allah Lewat Diri Sendiri

Mengenal Kekuasaan Allah Lewat Diri Sendiri

Sehabis Zuhur tadi aku mendengar ceramah Ustaz Hafiz Yazid di Masjid Al Jihad. Bahasannya tentang Tauhid. Pokok bahasan tentang Mengenal Allah. Dalam ceramah itu Ust Hafiz Yazid menyampaikan pendapat ulama "siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah".

Dijelaskannya, banyak hal dalam diri manusia ini yang menunjukkan kekuasaan Allah itu. Ustaz mencontohkan jemari manusia. Kalau jari itu diluruskan tingginya tidak sama. Tapi kalau dibengkokkan posisinya jadi sama. Jari kelingking yang paling pendek, bisa setara dengan jari tengah y paling panjang.

Kata Ustaz lagi, tangan manusia itu dibuat bersendi-sendi sehingga bisa dibengkok-bengkokkan. karena, tangan itu bisa bengkok dan lurus, sehingga tangan bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Coba bayangkan seandanya tangan itu lurus saja - tidak bisa dibengkokkan - apakah tangan itu bisa berfungsi? Tentu jawabannya, pasti tidak bbisa difungsikan.

Aku kutip penjelasan ustaz sampai disini aja. Penjelasan ini, mau aku kaitkan dengan diskusi sebelumnya. Soal rasionalitas. Ternyata, dalam tubuh kita ini ada hal yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Ilmu kedokteran atau ilmu lainnya, cuma bisa menjelaskan bagaimana organ ini bekerja. Tetapi belum ada penjelasan tentang alasan bentuk organ diciptakan seperti itu, kalau organ tubuh kita bentuknya berubah apakah bisa berfungsi, dll.

Mengapa jari kelingking itu lebih kecil dan pendek? Mengapa ketika dibengkokkan posisinya sama dengan jari tengah y panjang? Mengapa bentuk harus begitu? Apakah hal itu ada penjelasan rasional?

Nah, kembali kepada kajian tadi..siapa yang bisa mengenal dirinya..bisa melihat ada kekuasaan Allah pada penciptaannya..maka dia akan mengenal Allah. Apa y dikenalnya?

Bahwa Allah itu Maha Berkuasa. Sedangkan manusia itu tidak ada apa-apanya. Manusia bisa berbuat, kalau Allah memberi daya. Kalau tidak maka manusia, tidak bisa berbuat apa-apa.

Sabtu, 01 Maret 2014

Hubungan Doa dan Kentut (2)



Masih soal hubungan kentut dan doa.
Aku teringat peristiwa 15 tahun lalu, waktu itu aku masih kuliah di STIK Pembangunan Medan. Biasanya, kami suka nongkrong di warung samping kampus. Warung bang Siahaaan. Kalau sudah nongkrong, yang diceritain entah apa-apa, termasuk soal perempuan. Seorang teman berkomentar tentang seorang mahasiswi. Menurutnya, cewek itu cantik. Tapi ada pendapat yang membantahnya. Menurutnya, seorang wanita disebut cantik kalau bodynya begini dan begitu. Cewek yang jadi objek pembicaraan itu tidak memiliki ukuran body seperti yang disebutnya.

Aku mau mengaitkan soal "ukuran body" ini dengan rasionalitas tentang Tuhan. Penilaian seorang laki-laki terhadap perempuan sangat subjektif. Tidak kesepakatan bersama seluruh laki-laki yang mendefinisikan bagaimana ukuran cantiknya, eloknya seorang perempuan. Masing-masing punya penilaian tersendiri. Kita, menganggap penilaian yang subjektif sebagai sebuah kewajaran. Tidak ada yang bisa menyalahkan kalau seorang laki-laki menilai seorang wanita itu jelek atau cantik. Paling kita Cuma bilang; "itu menurutmu, tapi menurutku enggak gitu". Hal ini juga terjadi sebaliknya, seorang perempuan punya penilaian terhadap laki-laki yang berbeda satu dengan lainnya.

Penilaian subjektif tentang perempuan (lawan jenis) itu kita anggap sebagai suatu yang rasional.  Lalu ketika kita membincangkan tentang kekuasaan Allah, kita sulit menerimanya secara rasional. Contoh sederhananya begini. Allah berfirman orang yang bertaqwa itu akan dimudahkan rezekinya. Kita pun sholat Duha. Karena keutamaan sholaat Duha ini memudahkan rezeki. Lalu, kita tunggu datangnya rezeki. Kalau rezeki itu datang, misalnya jualan kita lancar, proyek kita jebol, kita baru yakin sholat itu membuka pintu rezeki. Ada faktanya. Kalau faktanya tidak kita temukan kita pun enggan meyakini apa pun yang difirmankan Allah.

Pembicaraan tentang perempuan, saya mau lanjutkan. Saya mau tarik ke soal hubungan seks. Seorang laki-laki memiliki wanita idaman. Wanita itu adalah orang yang menurutnya cantik tadi. Ujung dari ini semua adalah hubungan seksual. Kalau ditanya, "apa rasanya"? Pasti dijawab  "wow luar biasa". Lalu kalau dengan orang yang bukan idamannya, gimana rasanya? Biasanya, orang itu menggeleng. Adakah hubungan "bentuk tubuh" dengan nikmatnya hubungan seksual? Apakah ada penelitian ilmiah yang membuktikan ini?

Semua hubungan manusia (human relations) apapun bentuknya ditenggarai soal perasaan. Kalau kita merasa nyaman dengan seseorang, maka kita akan dekat denganya. Begitu juga dengan hubungan seksual. Itu saja yang mempengaruhi hubungan manusia dengan manusia yang lain. Lucunya banyak orang seolah membenarkan adanya hubungan "bentuk tubuh" dengan kenikmatan seksual.

Lalu mengapa untuk urusan kekuasaan Allah, kita berupaya mencari fakta yang kasat mata. Fakta yang bisa dijamah tangan dan didengar telinga. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita justeru mengabaikan logika kita. Kita lebih memperturutkan perasaan yang justeru membuat kita celaka.  

Orang korupsi itu karena memperturutkan perasaan. Ia merasa harta yang dimilikinya belum memenuhi kebutuhannya. Padahal, faktanya harta itu sudah berlebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Lalu ia mencari jalan untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyalahi logikanya. Faktanya, orang korupsi bakal masuk tahanan.
Ketika manusia berusaha mencari Tuhan dengan akalnya, dan tidak menemukannya, apakah memang Allah itu tidak ada? Atau kekuatan akal manusia itu yang sangat terbatas. Ketika manusia ingin membuktikan kekuasaan Allah dengan kasat mata, bisa didengar telinga, lalu manusia tidak bisa menemukannya, apakah memang Allah itu tidak berkuasa atas hidup kita? Lalu, mengapa manusia membenarkan perasaannya yang mengatakan bahwa perempuan yang memuaskan keinginan seksualnya adalah perempuan begini dan begitu.

Apakah hati kita pernah membenarnya adanya kekuasaan Allah yang bekerja dalam hidup kita? Apakah kita mau menafikan itu, dengan mengatakan itu hal yang tidak rasional, tidak bisa dibuktikan secara faktual. Sungguh, kita cuma berdalih saja. Karena banyak kebenaran itu memang tidak bisa dibuktikan secara rasional.

Hubungan Doa dan Kentut

Apa hubungan kentut dengan doa? Kayaknya, gak ada ya. Tidak ada penjelasan rasional yang bisa menerangkan hal itu. Aku sendiri, selama ini berusaha mencari penjelasan rasional ketika memikirkan Allah, ibadah, dan yang berkaitan dengan Allah. Apalagi ketika berbincang dengan orang-orang yang terdidik, selalu aku berusaha menjelaskannya dengan logika.

Tapi tadi aku mengalami peristiwa, bahwa Allah dan kekuasaannya tidak bisa selamanya bisa dijelaskan dengan akal. Kejadiannya begini. Tadi siang, aku jadi khatib sholat Jumat di kampungku Percut. 15 – 20 meter sampai di masjid, perutku ngulah. Mules. Dan betul saja. Begitu sepeda motor kuparkir. Keluarlah angin itu. Aku ke kamar mandi. Ambil wudhu lagi.

Setelah berbenah-benah sejenak, aku masuk majid dan sholat sunnat. Begitu rakaat terakhir, perutku ngulah lagi. Aku was-was. Waktu sholat sudah masuk. Dan aku harus naik mimbar. Saat sujud terakhir itu, aku memohon kepada Allah supaya mengamankan perut ini.

Aku naik mimbar. Saat mengucapkan salam, perut masih terasa mules. Azan berkumandang, perut berangsur pulih. Azan usai, aku pun berdiri. Semua sudah normal kembali. Sholat usai. Aku pulang ke rumah. Makan siang. Beberpa saat usai makan siang, perut kembali ngulah. Kali ini tak tertahan lagi.

Nah, sampai saat ini aku tak mencari penjelasan logis, apa hubungan doaku dengan kentut? Tapi kenyataannya, usai memanjatkan doa itulah perut ini bisa aman. Dan aku bisa menyelesaikan tugas jadi khatib dan imam Jumat dengan lancar

Rabu, 26 Februari 2014

Qur'an Itu Motivasi

Quran Itu Motivasi Hidup
 
Selalu kita duduk tertegun, terkesima, dan sangat serius mendengar petuah seorang motivator. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir motivator itu tak boleh terlewatkan. begitulah seriusnya kita mencari motivasi hidup. Sampai-sampai kita dengan rela hati mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah hanya untuk mendengar petuah-petuah sang motivator.

bukankah di lemari ada buku yang bisa memotivasi anda. Buku itu datang dari Rabb kita. Rabb kita tidak pernah meminta bayaran ketika buku itu kita baca. Apa yang kurang dari kitab itu? Di dalamnya banyak motivasi hidup, yang lebih hebat dari kata-kata motivator itu, karena motivasi itu datang langsung dari Pemilik Semesta Raya itu. Motivasi itu datang dari Yang Maha Menghidupkan, Sang Pemberi Rezeki yang menghidupi kita.

Memang kita butuh motivasi, untuk menyemangati, supaya kita bisa lalui problema hidup dengan baik. Rezeki, adalah satu dari sekian banyak problema hidup yang selalu kita risaukan. Lalu kita butuh motivasi untuk menyelesaikan kerisauan itu. Dan Allah telah memberi motivasi kepada kita.

Bukan Allah telah mengatakan "dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya".

Tidakkah ayat 6 surah Huud ini bisa membangkitkan semangat kita? Bukankah ini kata-kata dari Tuhan kita..yang menghidupkan kita dan mencukupi segala kebutuhan makhluqNya.

Sabtu, 01 Februari 2014

USTAZD dan TELEVISI



USTAZD dan TELEVISI
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Pascasarjana IAIN SU/ Dosen STIK "Pembangunan" Medan

            Kita lazim mendengar orang berkata "ustaz aja bilang boleh". Ada juga yang berujar "ustaz aja kayak gitu". Ucapan itu biasanya digunakan untuk membenarkan suatu perbuatan yang tidak lazim dilakukan masyarakat. Memang, ustaz adalah orang menguasai ilmu-ilmu tentang keislaman. Biasanya, sang ustaz dikenal sebagai orang yang taat menjalankan ajaran agama dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dengan ilmu yang dimilikinya, ustaz  menjadi penentu sebuah perbuatan itu benar atau salah. Ustaz menjadi sumber rujukan masyarakat dalam bertingkah laku.
            Di awal tulisan ini, penulis memuat dua ungkapan masyarakat untuk menunjukkan betapa pengaruhnya seorang ustaz. Pada ungkapan pertama "ustaz aja bilag boleh" menunjukkan legalitas perbuatan itu ditentukan dengan penyataan sang ustaz. Sementara pada pernyataan kedua "ustaz aja kayak gitu" menunjukkan pembenaran perbuatan itu dari prilaku ustaz. Kalau ustaz melakukan sesuatu berarti perbuatan itu boleh dilakukan. Karena, masyarakat mengenal seoarang ustaz sebagai orang berilmu dan taat menjalankan ajaran agama.
            Dahulu, seorang ustaz lahir dari tengah-tengah masyarakat melalui proses yang panjang. Biasanya, masyarakat mengenal latar belakang keluarga, pendidikannya dan pergaulannya. Label ustaz diberikan oleh masyarakat kepada orang yang dinilai pantas menerima gelar itu.  Seorang bisa dibilang ustaz, kalau ia mampu menjawab persoalan  agama dan taat menjalankan perintah agama. Jika masyarakat menilai hal itu tidak dimilikinya, maka masyarakat akan menolaknya.

Penahbisan Melalui Televisi
Kini, hal itu tidak berlaku lagi. Seseorang bisa saja muncul menjadi seorang ustaz. Masyarakat tidak mengetahui kemampuan ilmunya, apalagi mengetahui latar belakang keluarga dan pergaulannya. Label ustaz itu ditahbiskan oleh televisi bukan masyarakat. Kalau televisi mengatakan seseorang itu ustaz maka masyarakat  juga menerimanya sebagai ustaz.  Fenomena itulah yang terjadi saat ini.
Dalam teori komunikasi massa dikenal teori Agenda Setting. Kurt Lang dan Gladys Enggel Lang (1959) menulis beberapa pokok pikiran tentang teori ini. Mereka menyebutkan media massa memaksakan perhatian pada issu-issu tertentu. Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Funkhoser. Pendapatnya didasarkan penelitian tentang hubungan opini publik dengan isi media massa. Penelitian ini menunjukkan isu-isu yang diberi peringkat tertinggi oleh publik adalah isu-isu yang sering diliput oleh media massa.
Merujuk pada teori ini, penonton televisi akan mengukuhkan seseorang menjadi ustaz jika orang tersebut ditampilkan berulang-ulang. Seseorang bisa saja disulap menjadi ustaz walau ia tidak paham tentang ilmu agama. Caranya, ustaz televisi itu menghafal mati materi yang akan disampaikan serta cara penyampaiannya. Ustaz bersangkutan menghafal cara bertutur, kapan harus menggunakan nada tinggi, rendah atau datar saja. Dengan demikian, penonton akan mempersepsi ustaz televisi itu sangat paham dengan ilmu agama.  Tidak lupa, ustaz televisi itu didandani seperti ustaz kebanyakan. Untuk memudahkan ustaz bergaya, program siaran dibuat dalam bentuk rekaman (recording) sehingga produser program bisa mengedit kesalahan sebelum ditayangkan. Jika program itu disiarkan langsung (live) maka sesi tanya jawab tidak dibuka. Hal ini dilakukan untuk mencegah penonton bertanya diluar materi yang dihafal sang ustaz televisi itu.    
Sebenarnya program agama Islam televisi memiliki efek positif yaitu orang yang mengikuti acara lebih banyak dibandingkan pengajian tatap muka. Masyarakat juga dimudahkan belajar, tanpa harus meninggalkan aktivitas di rumah. Hal ini terjadi jika ustaz yang dihadirkan memang layak disebut ustaz. Namun jika orang yang dijadikan ustaz tidak memenuhi kreteria ustaz, maka efek negatif  muncul yaitu penyimpangan dari ajaran Islam.
Saat ini televisi cenderung menghadirkan ustaz bergaya pelawak. Hal ini bisa mengaburkan topik yang dibincangkan. Bahkan lebih celaka, tausiah itu disampaikan dalam program hiburan yang bertentangan dengan syariat Islam. Contohnya, "Ustaz" Maulana yang menyampaikan "tausiah" dalam program YKS TransTV. Penulis menggunakan tanda kutip pada kata ustaz dan tausiah sebagai penanda yang bersangkutan adalah ustaz bentukan televisi. Materi tausiah yang disampaikan juga sesuai dengan ideologi televisi.
Contoh kasus pelanggaran syariat terjadi pada acara YKS 10 Desember  2013.  Pemain wanita yang tampil memakai rok pendek. Mereka juga "berangkulan" dengan pemain pria di hadapan sang "ustaz". Padahal kedua hal itu dilarang dalam syariat Islam. Sementara itu pada edisi 12 Desember 2013, kehadiran "ustaz" Maulana diiringi dengan musik dan tarian seorang wanita. Setelah mengucapkan salam, seorang pemain – Wendi – memanggil pemain dengan mengatakan "kok sepi". Setelah itu musik pun mengalun. Muncullah wanita memakai rok sebatas lutut menari-nari. Awalnya, wanita itu menari di belakang ustaz kemudian bergerak ke depan. Saat menari, sang "ustaz" melihat wanita itu sambil bertepuk tangan. Jika "ustaz" Maulana menyadari fungsi seorang dai, ia pasti tahu kehadirannya akan melegitimasi segala perbuatan yang terjadi dalam acara itu.
Selain hal di atas, ustaz pelawak membuat kewibawaan seorang ustaz akan memudar. Hal itu juga dapat dilihat dalam acara YKS. Sesuai format acara yang penuh humor, maka para pemain sepanjang acara melawak terkecuali saat  "ustaz" memberikan tausiah. Pada edisi 10 Desember 2013, Wendi tiba-tiba muncul bergaya seorang ustaz.  Ia tampil dengan baju koko dan selempang serta memakai peci hitam. Tidak ketinggalan anting-anting menempel di kedua belah kupingnya. "Ustaz" Maulana lalu mendekatinya. Ia berkata posisi peci akan menentukan status sosial orang yang memakainya. Lalu ia pun memutar-mutar peci di atas kepala Wendi sembari menyebutkan fungsi sosialnya. Terakhir kali Wendi yang merubah letak peci sembari menyebutkan posisi itu seperti Si Unyil.  
Selepas itu, Wendi memainkan sal. Ia mengubah-ubah letak sal di tubuhnya sembari menyebutkan fungsi sosialnya. Selesai itu Olga tampil ke depan meminta "ustaz" Maulana melakonkan hal yang sama. Aksi ini mengundang gelak tawa penonton. Kita mengetahui peci dan sal merupakan simbol seorang ustaz. Ketika simbol sosial itu dipermainkan maka fungsi sosial yang timbul dari simbol itu akan telecehkan. Apalagi hal itu dilakukan seorang yang ditokohkan sebagai ustaz.  Kondisi ini diperparah lagi sikap sang "ustaz" yang ikut tertawa-tawa. Apakah "ustaz" Maulana menyadari ini atau tidak?
            Pertimbangan stasiun televisi membuat sebuah program adalah rating. Apabila program itu mengundang banyak penonton maka akan dibuat. Kalau rating tinggi maka sponsor pun akan masuk. Stasiun televisi tidak peduli apakah program itu melanggar nilai budaya, apalagi norma agama. Acara YKS sebenarnya menimbulkan kritik dari pemerhati media dan tokoh agama. Acara ini kerap menampilkan goyangan sensual.
Kehadiran "ustaz" Maulana pada program itu seolah melegalkan semua tayangan pornografi yang ada dalam acara itu. Apalagi ia mengeluarkan komentar bahwa dirinya sangat suka menonton acara YKS karena membuat acara itu membuat keluarga berkumpul. Apakah ukuran acara bagus dari sisi agama hanya karena bisa mengumpulkan keluarga? Apakah pelanggaran syariat bisa diabaikan jika program itu  bisa mengumpulkan anggota keluarga? Tentu komentar ini tidak layak disampaikan seorang pendakwah yang mengajak kepada jalan Allah.

Peringatan Rasulullah
            Jauh sebelum peristiwa ini, Rasulullah telah mengingatkan umat agar hati-hati dengan penceramah yang bermunculan.  Dari Abu Dzar, bahwasannya Rosulullah bersabda : Sesungguhnya kalian sekarang ada pada zaman yang banyak ulama (ahli ilmu)nya dan sedikit khutoba' (penceramah)nya, barangsiapa yang meninggalkan sepersepuluh dari yang ia ketahui maka dia telah tersesat. Dan akan datang suatu zaman ketika itu banyak khutoba' (penceramah)nya dan sedikit ulama(ahli ilmu)nya, barangsiapa diantara mereka berpegang pada sepersepuluh agamanya maka dia telah selamat. (HR. Imam Ahmad).
Merujuk dari hadits ini, nabi membedakan antara penceramah dengan ulama. Siapakah ulama itu? Ibnu 'Abbas ra menafsirkan ulama dengan "orang yang mengenal Allah dari hamba-hamba-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, menjaga dan yakin bahwa Allah akan menjumpainya dan menghisab amal perbuatannya." Pendapat ini sesuai dengan firman Allah: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al- Fathir – 28).
Ketundukan kepada Allah ditandai dengan menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan murka Allah. Ulama juga istiqomah menjalankan beragam kebajikan yang membuat Allah mencintainya. Imam Ath-Thabari berkata, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah"
Namun fenomena yang terlihat saat ini berbeda. Orang yang menceramahkan agama tidak memiliki karakter ketundukan kepada Allah. Perbuatan mereka sebagai penyeru Islam tidak menunjukkan sebagai orang yang takut terhadap Allah. Bahkan dalam kegiatan berdakwah mereka mencampurnya dengan kemaksiatan.  Mereka mengotori kemurnian ilmu agama dengan buaian kemewahan duniawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan: “Barangsiapa mempelajari ilmu untuk mendapatkan tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud no: 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no: 252, Ibnu Hibban no: 89)

Melihat fenomena ini, seorang muslim tidak menonton program televisi yang mencampur-adukkan tayangan dakwah dengan acara hiburan yang penuh kemaksiatan. Umat Islam harus memilih penceramah yang berkarakter ulama, yaitu konsisten menjaga diri dari kemaksiatan. Tak kalah penting, umat Islam juga mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan sanksi kepada televisi yang membuat program agama yang menyalahi syariat Islam. (Tulisan ini dimuat di Harian Waspada, Jumat 31 Jan 2014)