Sabtu, 01 Maret 2014

Hubungan Doa dan Kentut (2)



Masih soal hubungan kentut dan doa.
Aku teringat peristiwa 15 tahun lalu, waktu itu aku masih kuliah di STIK Pembangunan Medan. Biasanya, kami suka nongkrong di warung samping kampus. Warung bang Siahaaan. Kalau sudah nongkrong, yang diceritain entah apa-apa, termasuk soal perempuan. Seorang teman berkomentar tentang seorang mahasiswi. Menurutnya, cewek itu cantik. Tapi ada pendapat yang membantahnya. Menurutnya, seorang wanita disebut cantik kalau bodynya begini dan begitu. Cewek yang jadi objek pembicaraan itu tidak memiliki ukuran body seperti yang disebutnya.

Aku mau mengaitkan soal "ukuran body" ini dengan rasionalitas tentang Tuhan. Penilaian seorang laki-laki terhadap perempuan sangat subjektif. Tidak kesepakatan bersama seluruh laki-laki yang mendefinisikan bagaimana ukuran cantiknya, eloknya seorang perempuan. Masing-masing punya penilaian tersendiri. Kita, menganggap penilaian yang subjektif sebagai sebuah kewajaran. Tidak ada yang bisa menyalahkan kalau seorang laki-laki menilai seorang wanita itu jelek atau cantik. Paling kita Cuma bilang; "itu menurutmu, tapi menurutku enggak gitu". Hal ini juga terjadi sebaliknya, seorang perempuan punya penilaian terhadap laki-laki yang berbeda satu dengan lainnya.

Penilaian subjektif tentang perempuan (lawan jenis) itu kita anggap sebagai suatu yang rasional.  Lalu ketika kita membincangkan tentang kekuasaan Allah, kita sulit menerimanya secara rasional. Contoh sederhananya begini. Allah berfirman orang yang bertaqwa itu akan dimudahkan rezekinya. Kita pun sholat Duha. Karena keutamaan sholaat Duha ini memudahkan rezeki. Lalu, kita tunggu datangnya rezeki. Kalau rezeki itu datang, misalnya jualan kita lancar, proyek kita jebol, kita baru yakin sholat itu membuka pintu rezeki. Ada faktanya. Kalau faktanya tidak kita temukan kita pun enggan meyakini apa pun yang difirmankan Allah.

Pembicaraan tentang perempuan, saya mau lanjutkan. Saya mau tarik ke soal hubungan seks. Seorang laki-laki memiliki wanita idaman. Wanita itu adalah orang yang menurutnya cantik tadi. Ujung dari ini semua adalah hubungan seksual. Kalau ditanya, "apa rasanya"? Pasti dijawab  "wow luar biasa". Lalu kalau dengan orang yang bukan idamannya, gimana rasanya? Biasanya, orang itu menggeleng. Adakah hubungan "bentuk tubuh" dengan nikmatnya hubungan seksual? Apakah ada penelitian ilmiah yang membuktikan ini?

Semua hubungan manusia (human relations) apapun bentuknya ditenggarai soal perasaan. Kalau kita merasa nyaman dengan seseorang, maka kita akan dekat denganya. Begitu juga dengan hubungan seksual. Itu saja yang mempengaruhi hubungan manusia dengan manusia yang lain. Lucunya banyak orang seolah membenarkan adanya hubungan "bentuk tubuh" dengan kenikmatan seksual.

Lalu mengapa untuk urusan kekuasaan Allah, kita berupaya mencari fakta yang kasat mata. Fakta yang bisa dijamah tangan dan didengar telinga. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita justeru mengabaikan logika kita. Kita lebih memperturutkan perasaan yang justeru membuat kita celaka.  

Orang korupsi itu karena memperturutkan perasaan. Ia merasa harta yang dimilikinya belum memenuhi kebutuhannya. Padahal, faktanya harta itu sudah berlebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Lalu ia mencari jalan untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyalahi logikanya. Faktanya, orang korupsi bakal masuk tahanan.
Ketika manusia berusaha mencari Tuhan dengan akalnya, dan tidak menemukannya, apakah memang Allah itu tidak ada? Atau kekuatan akal manusia itu yang sangat terbatas. Ketika manusia ingin membuktikan kekuasaan Allah dengan kasat mata, bisa didengar telinga, lalu manusia tidak bisa menemukannya, apakah memang Allah itu tidak berkuasa atas hidup kita? Lalu, mengapa manusia membenarkan perasaannya yang mengatakan bahwa perempuan yang memuaskan keinginan seksualnya adalah perempuan begini dan begitu.

Apakah hati kita pernah membenarnya adanya kekuasaan Allah yang bekerja dalam hidup kita? Apakah kita mau menafikan itu, dengan mengatakan itu hal yang tidak rasional, tidak bisa dibuktikan secara faktual. Sungguh, kita cuma berdalih saja. Karena banyak kebenaran itu memang tidak bisa dibuktikan secara rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar