Mari Pahami Anak Kita
Tadi siang aku ke Gramedia. Saat naik ke lantai dua, aku melihat seorang laki-laki "menggiring" seorang anak. Anak itu kira-kira usianya 4 thn. Anak itu dibawa turun ke lantai satu. Kenapa kusebut menggiring? Laki-laki itu memegang tangan kiri anak itu, dia nampak tergesa, terdengar suaranya bernada tinggi. Si anak memegang roknya, pas dibagian "anunya".
Aku menduga si anak pipis. Akibatnya, si ayah panik.
Melihat peristiwa itu, aku teringat pada diriku sendiri. Seringkali peristiwa seperti itu membuat panik. Anehnya, kita memaksa anak itu bersikap seperti kita orang dewasa. Kita memaksa dia bisa mengontrol prilakunya, termasuk mengontrol kapan si anak harus pipis.
Memang benar, orang tua harus mengajari anaknya bagaimana harus bersikap. Namun harus diingat, ada kondisi tertentu yang membuat sianak bingung menentukan sikapnya. Salah satunya, adalah cara kita bersikap kepadanya. Contoh; saat ia sesak pipis, mungkin dia ragu mengatakannya kepada kita. karena takut mengganggu kesibukan kita. Akhirnya, ia tak sanggup menahan pipisnya dan keluar sendiri.
Dari kasus ini, ada perasaan yang timbul dalam hatiku. Seorang ayah harus belajar memahami anak dari kacamata seorang anak. Bukan dari kacamata seorang ayah yang sok dewasa, sok sibuk, sok tak mau diganggu, dan sok pintar.
Selasa, 31 Desember 2013
Rabu, 25 Desember 2013
Hegemoni Barat Terhadap Budaya Lokal
Hegemoni Barat Terhadap Budaya Lokal
Oleh: Muhammad Hidayat
Mungkin anda
bertanya, radio apa yang pendengarnya berasal dari kelas ekonomi menengah ke
bawah. Saya yakin, orang yang anda tanya akan menunjuk radio yang memutar lagu
dangdut, lagu daerah dan lagu India. Pertanyaan
selanjutnya, radio mana yang segment pendengarnya kelas ekonomi menengah
atas. Saya yakin, jawabannya adalah radio yang memutar lagu barat, apakah itu
genre pop, rock terutama jazz.
Nah, kalau
anda kurang percaya, silakan anda buka data Komisi Penyiaran Indonesia. Periksa
semua profile radio yang ada di Medan. Anda akan menemukan radio yang
menetapkan segment pendengarnya kelas ekonomi menengah ke atas, radio itu pasti
memutar lagu-lagu barat. Radio itu pasti tidak akan pernah memutar lagu
dangdut, lagu India apalagi lagu Melayu, Padang, Aceh, Jawa dan lain-lain.
Cerita di
atas merupakan gambaran sederhana hegemoni barat terhadap budaya lokal. Secara
tidak sadar kita telah menempatkan lagu-lagu daerah di Indonesia menjadi lagu
yang dinikmati masyarakat kelas rendah. Kecenderungan masyarakat untuk
menunjukkan diri berada pada kelas atas caranya mendengarkan lagu-lagu barat,
khususnya lagu jazz. Padahal lagu merupakan produk budaya tertentu yang tidak
bisa diukur produk budaya mana yang lebih baik.
Studi Kasus :
Lagu Moekandroe – Rafly
Hegemoni
adalah cara kelas penguasa menguasai kelompok lainnya dengan cara mengontrol
atau mempengaruhi pemikiran. Teori ini digagas oleh Antonio Gramsci. Menurutnya,
kepemimpinan suatu kelas karena adanya persetujuan yang bersifat sukarela dari
kelas bawah. Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena keberhasilan kelas atas
dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan
dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga – yang disebut fungsinonaris hegemoni – seperti negara,
kebudayaan, pendidikan, dan lainnya.
Mengikut pemikiran ini, industri musik dan media hiburan (radio dan televisi)
merupakan fungsinonaris hegemoni.
Praktik hegemoni
terhadap budaya lokal dapat dilihat pada lagu Rafly, seorang seniman Aceh. Bersama
grup musiknya Kande, Rafly ingin menginternasinalisasi music Aceh. Dua alat
musik tradisional yang ditonjolkan adalah serune kalee dan rapai.
Serune
Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan
bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara tarian dan penyambutan
tamu kehormatan. Sementara itu, rapai
merupakan sejenis instrumen musik pukul (perkusi) yang berfungsi mengiringi
kesenian tradisional. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan
kuning muda.
Lagu-lagu Rafly
terkenal di Indonesia pada saat Tsunami dulu. Radio dan televisi menjadikan
lagu ini sebagai musik latar saat menyampaikan informasi tentang tsunami Aceh. Namun
setelah peristiwa tsunami itu tidak lagi hangat, radio dan televisi Indonesia tidak
lagi memutar lagu-lagu Rafly. Tidak ada radio yang berani menyandingkan
lagu-lagu Rafly dengan lagu-lagu barat, seperti Michael Jackson, Mariah Carey,
Whitney Houston, Incognito atau Level 42.
Lagu Rafly
hanya dimasukkan dalam program lagu daerah. Radio yang memutar lagu Rafly
adalah radio yang dikelompokkan sebagai radio "kelas bawah". Kondisi
ini berubah, ketika lagu itu diaransemen ulang dengan warna music jazz oleh
Dwiki Dharmawan. Beberapa bulan lalu Rafly tampil membawakan lagu Moekandroe dengan
warna jazz di sebuah televisi swasta. Orang-orang pun langsung menilai lagu
Moekandroe naik kelas.
Lagu
Moekandroe adalah lagu yang terdapat dalam album Moekandroe yang dirilis tahun 2006
lalu. Album ini kental warna Aceh dengan mengedepankan alat musik serune
kalee dan rapai. Hal itu juga terlihat dari cara Rafly bernyanyi
yang mengikuti gaya Rapai Geleng Aceh Selatan. Tetapi pada kemasan jazz,
instrumen yang lebih menonjol adalah piano yang dimainkan Dwiki Dharmawan.
Hal yang
perlu kita ingat, music jazz adalah warna music yang berasal dari negara barat.
Mengutip Wikipedia, jazz adalah aliran musik yang berasal dari Amerika Serikat pada
awal abad ke-20
dengan akar-akar dari musik Afrika dan Eropa. Musik jazz banyak menggunakan gitar, trombon, piano, trompet, dan
saksofon.
Elemen penting dalam jazz adalah blue notes, improvisasi, polyrhythms,
sinkopasi, dan shuffle note. Maka saat lagu Moekandroe itu dikemas
dengan warna jazz, instrument Aceh yaitu serune kalee dan rapai
menjadi tidak dominan. Padahal dua alat
musik inilah menjadi identitas musik Aceh yang selama ini mewarnai lagu Rafly.
Rekomendasi
Hingga kini industry music dunia
masih dikuasai Amerika Serikat. Ada lima perusahaan terkemuka yang
menguasai dunia musik, yaitu Universal, Sony Music, BMG, Warner Music, dan EMI. Keberadaan perusahaan ini bukan
sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap lagu-lagu. Perusahaan ini harus dilihat
sebagai institusi yang membentuk pola pikir masyarakat dunia tentang jenis musik
apa yang harus didengar. Yang perlu diingat, mendengar musik bukan hanya sebagai
hiburan, tetapi juga menentukan kelas sosial ekonomi.
Kebijakan media siaran (radio dan
televisi) menetapkan lagu berdasarkan indikator social ekonomi pendengar
membuktikan hegemoni barat terhadap budaya lokal. Alasannya, lagu yang kelompokkan dalam
lagu-lagu kelas atas adalah lagu-lagu barat. Sementara lagu-lagu daerah,
dikelompokkan sebagai lagu masyarakat kelas bawah.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kebudayaan lokal khususnya
lagu daerah akan hilang. Masyarakat menjadi
enggan mendengar lagu-lagu daerah karena mendengar lagu daerah dinilai tidak
berkelas. Karena itu, media siaran harus berani menyetarakan lagu-lagu daerah
dengan lagu-lagu barat. Caranya,
penyiaran lagu-lagu daerah tidak perlu diputar dalam suatu program khusus
tetapi lagu daerah itu diputar di antara lagu-lagu barat. Tujuannya, agar lagu daerah itu sejajar dengan
lagu barat.(tulisan ini dimuat di Harian Waspada)
Senin, 23 Desember 2013
Indonesia Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?
Indonesia
Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?
Oleh
: Muhammad Hidayat
Alumnus
Pascasarjana IAIN SU
Pemerintah
menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) di tahun 2013 sebesar 72 juta
ton, lebih tinggi dari tahun lalu. Sebagai pendukung, petani dibekali dengan
benih varietas unggul. Hal ini diungkapkan Menteri Pertanian Suswono saat
melakukan panen benih padi varietas mekongga kelas benih sebar di persawahan
Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk (UPT BBI) Padi Murni Tanjung Morawa,
Jumat (11/1) di Medan.
Target
pemerintah ini bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Ketersediaan benih
unggul dan pupuk subsidi merupakan problema akut. Selain itu, lahan pertanian
terus berkurang. Setiap tahun, 100.000 hektare lahan pertanian berubah menjadi
perkebunan sawit. Hal ini juga dinyatakan Menteri Pertanian pada acara yang
sama. Mentan mengaku saat melakukan perjalanan Medan – Langsa (Aceh) menemukan
banyak sawah produktif yang berubah menjadi perkebunan sawit. (Lihat Medan
Bisnis, hal 4)
Penyusutan lahan sawah tidak hanya disebabkan
petani beralih ke sawit. Alih fungsi lahan pertanian terbesar sebenarnya ke
sektor properti. Seandainya Menteri Pertanian lebih teliti, ia pasti
menyaksikan lahan sawah telah disulap menjadi kompleks perumahan mewah
sepanjang Medan – Langsa yang dilaluinya.
Saat
itu hanya tersedia lahan 13,20 juta hektar. Jika areal sawah tidak ditambah, tahun
2015 Indonesia terancam mengalami defisit 730.000 (0,73 juta) hektar. Perhitungan
ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk. Tahun 2015 jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan 255 juta jiwa dengan asumsi konsumsi beras per kapita
135,1 kilogram per kapita/tahun. Untuk memenuhi konsumsi akan dibutuhkan lahan
tanaman padi 13,38 juta hektar.
Akibat
kekurangan lahan, tidak heran Indonesia membutuhkan pencetakan lahan baru. Pada
tahun 2011 lalu, Pemerintah telah berencana membuka 200.000 hektar lahan pertanian
baru untuk mengejar surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Areal hutan yang
bisa dialihfungsikan ini masuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
dengan luas 9,09 juta hektar.
Menimbang Solusi
Selintas
persoalan pangan di Indonesia sangat sederhana. Kekurangan lahan, solusinya
membuka lahan baru. Untuk meningkatkan produksi, caranya benih unggul dan
pupuk. Mengatasi peralihan fungsi lahan solusinya membuat Kepres larangan alih
fungsi lahan. Persoalan terberat, apakah pemerintah mau mengerjakanya?
Pemerintah harus berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Pemerintah dituntut membuat kebijakan yang konprehensif dan tidak parsial.
Kebijakan dimulai dengan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah secara nasional
yang ditopang kebijakan lainnya. Kebijakan lain yang diperlukan adalah larangan
konversi lahan, penyediaan benih dan pupuk subsidi, larangan impor produk holtikultura,
termasuk larangan warga asing memiliki properti.
Kekurangan
lahan di Indonesia disebabkan pemerintah tidak tegas mengatur Rencana Tata
Ruang Wilayah. Akibatnya, lahan pertanian dialih-fungsikan untuk keperluan
lainnya, seperti pemukiman. Pemerintah juga tidak menjaga ketersedian pupuk
sehingga sulit diperoleh dan harga tinggi. Ongkos pertanian pun melambung.
Sialnya, harga gabah rendah. Petani
akhirnya beralih ke sektor lain yang menguntungkan seperti sawit.
Selain itu
pemerintah membuka keran impor besar-besaran sehingga harga komoditas pertanian
lokal anjlok. Saat kondisi seperti ini, para pengembang pun datang menawar tanah
pertanian dengan harga tinggi. Tawaran ini tentu menggiurkan petani. Lahan padi pun
berubah menjadi ladang beton.
Seiring pembukaan areal sawah baru, pemerintah
harus menerbitkan aturan larangan konversi lahan pertanian ke sektor lain.
Pemerintah daerah juga harus membuat Rencana Tata Ruang Wilayah untuk jangka
panjang. Selain itu, pemerintah daerah tidak dibenarkan menerbitkan Surat Izin
Mendirikan Bangunan di areal persawahan. Jika ini tidak dilakukan, alih fungsi
lahan akan terus terjadi meski lahan baru terus dibuka.
Selain itu, pemerintah hendaknya tetap
memberlakukan larangan warga asing memiliki properti di Indonesia. Jika
pemerintah mengizinkan warga asing memiliki properti, bisnis properti di
Indonesia pasti semakin meningkat. Di
saat bisnis properti booming, harga tanah pun melambung tinggi. Petani tentu tergiur
untuk menjual tanahnya kepada pengembang. Akibatnya, lahan pertanian pun menyusut
kembali. Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi pertanian. Produksi beras tentu
tidak akan memenuhi target.
Sejak gerakan Revolusi Hijau dilakukan Orde
Baru, petani tergantung pada bibit unggul dan pupuk. Sialnya, bibit unggul dan
pupuk tidak mencukupi kebutuhan petani. Berita kelangkaan pupuk bersubsidi
sudah menjadi berita biasa. Akibatnya, petani menggunakan pupuk non subsidi
dengan harga tinggi. Sementera untuk memenuhi kebutuhan benih, petani terpaksa
menggunakan bibit sembarangan. Dengan kondisi seperti ini hasil produksi tidak
memenuhi target dan merugikan petani.
Tahun 2014, Pemilu Legislatif dan Presiden akan
digelar. Pemerintahan Indonesia akan berganti. Pertanyaanya, apakah pemerintahan
baru serius mewujudkan kemandirian pangan? Entahlah.(tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis)
Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim
Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim
(Analisa Wacana Pragmatik Surah Ash-Shafat Ayat 102)
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Prodi Komunikasi Islam Pascasarjana IAIN SU
"Kalau anak-anak dulu ditengoki
aja udah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak becakap mereka tak
peduli". Begitu komentar seorang ayah terhadap prilaku anak-anaknya. Apa
yang diucapkannya agaknya mewakili
pernyataan para orang tua. Memang saat ini banyak orang tua bingung bagaimana
cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali apa yang disampaikan orang
tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi penting bagi orang tua memikirkan
gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sebetulnya, orang tua bisa meniru gaya
komunikasi Nabi Ibrahim dengan anaknya. Memang gaya komunikasi Nabi Ibrahim ini
merujuk Alquran. Tetapi, hemat saya, gaya komunikasi ini berlaku universal yang
bisa ditiru oleh orang tua lintas keyakinan.
Tulisan ini adalah analisa wacana pragmatic terhadap surah Ash-Shafat
ayat 102. Ayat ini bercerita tentang dialog nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail
tentang penyembelihan (kurban). Saat itu, Ibrahim mengatakan bahwa ia bermimpi
melihat dirinya menyembelih si anak (Ismail). Dalam ajaran Islam, ayat inilah
yang dijadikan dalil untuk melakukan penyembelihan (kurban) pada hari Raya Idul
Adha.
Mari kita perhatikan surah Ash-Shafat ayat 102 yang menceritakan dialog antara nabi
Ibrahim dengan anaknya, Ismail. Redaksi
ayat diterjemahkan sebagai berikut: "Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Menjelaskan ayat ini, penulis menggunakan analisa wacana pragmatik yang
kerap digunakan dalam studi bahasa dan komunikasi. Analisa wacana adalah studi
tentang struktur pesan dalam komunikasi. Sementara pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu
bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan definisi ini,
maka analisa wacana pragmatik dapat diartikan sebagai telaah
mengenai makna dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan suatu jenis kalimat dengan makna
yang berbeda. Tidak jarang, kalimat perintah digunakan untuk melarang. Contoh,
seorang ibu yang melarang anaknya memanjat pohon dengan menggunakan kata
"panjat, panjat lah". Kalimat ini jenisnya kalimat perintah karena
terdapat partikel lah. Tetapi dalam
konteks percakapan ibu dan anak, kalimat itu bermakna larangan. Si anak
sebagai peserta komunikasi sadar kalau kalimat itu adalah larangan walau bentuk
kalimat menyuruh.
Kredibilitas Tinggi
Topik pembicaraan antara Ibrahim dan Ismail adalah mimpi Ibrahim. Dalam mimpi itu, Ibrahim
melihat dirinya menyembelih anaknya sendiri. Dalam dialog Ibrahim meminta
anaknya memikirkan mimpi itu. Tetapi jawaban yang muncul dari Ismail adalah
meminta Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Mari kita perhatikan dialognya.
Ibrahim
berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Ismail
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Ibrahim sama
sekali tidak mengatakan bahwa Allah memerintahkan dirinya untuk menyembelih
Ismail. Tetapi Ismail memaknai mimpi yang diceritakan ayahnya itu wahyu Allah
untuk menyembelihnya. Maka timbul pertanyaan mengapa Ismail begitu percaya cerita ayahnya itu adalah wahyu Allah?
Dalam kajian
komunikasi, penerima pesan (komunikan) percaya kepada penyampai pesan
(komunikator) apabila komunikator memiliki kredibilitas tinggi. Everett
M Rogers (1983) mengatakan kredibilitas adalah tingkat di mana komunikator
dipersepsi sebagai suatu kepercayaan dan kemampuan oleh penerima. Menurut
Alexis S Tan (1981) kredibilitas sumber terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian
dan kepercayaan. Keahlian diukur dengan sejauhmana komunikan menganggap
komunikator mengetahui jawaban yang benar, sedangkan kepercayaan
dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan bahwa komunikator tidak
memihak dalam penyampaian pesan.
Dua hal
tersebut dimiliki Ibrahim, sehingga ia menjadi seorang komunikator dengan
kredibilitas tinggi di hadapan anaknya, Ismail. Merujuk Alquran,
diceritakan banyak peristiwa yang membuktikan Ibrahim adalah orang yang berstatus nabi. Mulai dari
pertentangannya dengan ayahnya sendiri, sampai kemudian Ibrahim dibakar oleh
Raja Namruz. Peristiwa hijrahnya ke Mekkah, juga berkaitan dengan posisinya sebagai Nabi. Peristiwa tersebut juga diketahui
Ismail sebagai seorang anak. Hal itulah yang mengokohkan posisi Ibrahim di mata
Ismail. Sehingga ketika Ibrahim menceritakan mimpi, Ismail langsung memahami
maksud sang ayah.
Kesamaan Pengetahuan dan
Pengalaman
Proses komunikasi akan berlangsung efektif, jika
komunikator dan komunikan memiliki kesamaan.
Wilbur Schramm menyebut ada dua kesamaan yang membuat
komunikasi efektif, yaitu frame of reference
(kerangka acuan) dan filed of
experience (bidang pengalaman). Schramm menyatakan bahwa filed of
experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk
terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang
pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya
jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul
kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi
tidak komunikatif. (Effendy,2003:30-31)
Merujuk ke surah Ash-Shafat ayat 102 itu, disebutkan bahwa ada
kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Hal itu dapat
dilihat dari redaksi awal ayat: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim....". Ada dua hal yang ditunjukkan dari redaksi
ayat ini. Pertama; usia Ismail saat itu berada pada usia memahami
perkataan dan peristiwa dengan baik. Kedua; Ibrahim dan Ismail melakukan
berbagai macam kegiatan bersama. Walau dalam ayat tersebut tidak diceritakan
secara detil bentuk usaha/ kegiatan yang dilakukan keduanya.
Tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses
komunikasi itu, adalah kerelaan Ismail untuk "dikurbankan". Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa
"penyembelihan" itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua
target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu berhasil terpenuhi. Hal
itu disebabkan, kesamaan frame of reference
(kerangka acuan) dan filed of
experience (bidang pengalaman). Kondisi itu juga ditopang dengan usia
Ismail saat itu yang mampu berfikir dengan baik.
Tan menyebutkan unsur kredibilitas adalah kepercayaan.
Komunikan percaya komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Saat
berdialog dengan Ismail, kalimat yang disampaikan Ibrahim tidak menunjukkan
bahwa peristiwa penyembelihan itu untuk kepentingan Ibrahim. Kalimat yang
disampaikan Ibrahim hanya menceritakan mimpi apa adanya. Ibrahim tidak
menambahkan keterangan pada mimpi itu sebagai wahyu dari Allah. Kalimat itu
berupa: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu". Kepercayaan Ismail kepada Ibrahim semakin menguat ketika
Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang
perisitiwa itu dengan kalimat "Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Kepercayaan Ismail itu muncul karena kesamaan
pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Peristiwa yang dialami bersama, membuat Ismail
menempatkan Ibrahim sebagai seseorang yang melakukan sesuatu semata-mata karena
perintah Tuhan. Ismail percaya ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi,
kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu,
Ismail juga harus mengerjakan perintah Tuhan, karena Ismail juga mengakui
dirinya sebagai hamba Allah.
Rekomendasi
Dari
uraian di atas, dapat diambil point-point sebagai acuan dalam berkomunikasi
kepada anak. Pertama; orang tua hendaknya selalu melakukan kegiatan bersama
sehingga terbentuk kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan filed of experience (bidang pengalaman)
antara orang tua dan anak. Kedua; menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan.
Hal inilah yang akan meningkatkan kredibilitas orang tua di mata anak. Tan
menyebutkan kredibilitas adalah penilaian komunikan terhadap komunikator bahwa komunikator
memiliki pengetahuan dan tidak memihak atas pesan yang disampaikan. Penilaian
komunikan ini bisa terwujud jika komunikator (orang tua) menyelaraskan antara
perkataan dengan perbuatanya.
Ketiga; menyesuaikan pesan/ informasi yang disampaikan kepada anak
sesuai dengan usia sang anak. Sering kali, orang tua tidak menyesuaikan
perkataan (informasi) yang disampaikan dengan usia anak. Kondisi ini membuat
anak tidak mampu menalar pesan yang disampaikan dengan baik. Hasilnya, tujuan komunikasi
tidak akan tercapai.
Ketiga point di atas hendaknya bisa menjadi acuan para orang tua
dalam berkomunikasi kepada anaknya. Jika hal ini dilakukan, penulis yakin komunikasi
yang dilakukan akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan oleh Ibrahim. Pertanyaan
yang muncul, apakah orang tua mampu mengikuti gaya komunikasi yang dicontohkan
Ibrahim itu.
Langganan:
Postingan (Atom)