Selasa, 31 Desember 2013

Mari Pahami Anak Kita

Mari Pahami Anak Kita

Tadi siang aku ke Gramedia. Saat naik ke lantai dua, aku melihat seorang laki-laki "menggiring" seorang anak. Anak itu kira-kira usianya 4 thn. Anak itu dibawa turun ke lantai satu. Kenapa kusebut menggiring? Laki-laki itu memegang tangan kiri anak itu, dia nampak tergesa, terdengar suaranya bernada tinggi. Si anak memegang roknya, pas dibagian "anunya".

Aku menduga si anak pipis. Akibatnya, si ayah panik.

Melihat peristiwa itu, aku teringat pada diriku sendiri. Seringkali peristiwa seperti itu membuat panik. Anehnya, kita memaksa anak itu bersikap seperti kita orang dewasa. Kita memaksa dia bisa mengontrol prilakunya, termasuk mengontrol kapan si anak harus pipis.

Memang benar, orang tua harus mengajari anaknya bagaimana harus bersikap. Namun harus diingat, ada kondisi tertentu yang membuat sianak bingung menentukan sikapnya. Salah satunya, adalah cara kita bersikap kepadanya. Contoh; saat ia sesak pipis, mungkin dia ragu mengatakannya kepada kita. karena takut mengganggu kesibukan kita. Akhirnya, ia tak sanggup menahan pipisnya dan keluar sendiri.

Dari kasus ini, ada perasaan yang timbul dalam hatiku. Seorang ayah harus belajar memahami anak dari kacamata seorang anak. Bukan dari kacamata seorang ayah yang sok dewasa, sok sibuk, sok tak mau diganggu, dan sok pintar.

Rabu, 25 Desember 2013

Hegemoni Barat Terhadap Budaya Lokal



Hegemoni Barat Terhadap Budaya Lokal
Oleh: Muhammad Hidayat

Mungkin anda bertanya, radio apa yang pendengarnya berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Saya yakin, orang yang anda tanya akan menunjuk radio yang memutar lagu dangdut, lagu daerah dan lagu India. Pertanyaan  selanjutnya, radio mana yang segment pendengarnya kelas ekonomi menengah atas. Saya yakin, jawabannya adalah radio yang memutar lagu barat, apakah itu genre pop, rock terutama jazz.
Nah, kalau anda kurang percaya, silakan anda buka data Komisi Penyiaran Indonesia. Periksa semua profile radio yang ada di Medan. Anda akan menemukan radio yang menetapkan segment pendengarnya kelas ekonomi menengah ke atas, radio itu pasti memutar lagu-lagu barat. Radio itu pasti tidak akan pernah memutar lagu dangdut, lagu India apalagi lagu Melayu, Padang, Aceh, Jawa dan lain-lain.
Cerita di atas merupakan gambaran sederhana hegemoni barat terhadap budaya lokal. Secara tidak sadar kita telah menempatkan lagu-lagu daerah di Indonesia menjadi lagu yang dinikmati masyarakat kelas rendah. Kecenderungan masyarakat untuk menunjukkan diri berada pada kelas atas caranya mendengarkan lagu-lagu barat, khususnya lagu jazz. Padahal lagu merupakan produk budaya tertentu yang tidak bisa diukur produk budaya mana yang lebih baik.

Studi Kasus : Lagu Moekandroe – Rafly

Hegemoni adalah cara kelas penguasa menguasai kelompok lainnya dengan cara mengontrol atau mempengaruhi pemikiran. Teori ini digagas oleh Antonio Gramsci. Menurutnya, kepemimpinan suatu kelas karena adanya persetujuan yang bersifat sukarela dari kelas bawah. Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena keberhasilan kelas atas dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga – yang disebut fungsinonaris hegemoni – seperti negara, kebudayaan, pendidikan, dan lainnya. Mengikut pemikiran ini, industri musik dan media hiburan (radio dan televisi) merupakan fungsinonaris hegemoni.
Praktik hegemoni terhadap budaya lokal dapat dilihat pada lagu Rafly, seorang seniman Aceh. Bersama grup musiknya Kande, Rafly ingin menginternasinalisasi music Aceh. Dua alat musik tradisional yang ditonjolkan adalah serune kalee dan rapai. Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara tarian dan penyambutan tamu kehormatan. Sementara itu, rapai merupakan sejenis instrumen musik pukul (perkusi) yang berfungsi mengiringi kesenian tradisional. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda.
Lagu-lagu Rafly terkenal di Indonesia pada saat Tsunami dulu. Radio dan televisi menjadikan lagu ini sebagai musik latar saat menyampaikan informasi tentang tsunami Aceh. Namun setelah peristiwa tsunami itu tidak lagi hangat, radio dan televisi Indonesia tidak lagi memutar lagu-lagu Rafly. Tidak ada radio yang berani menyandingkan lagu-lagu Rafly dengan lagu-lagu barat, seperti Michael Jackson, Mariah Carey, Whitney Houston, Incognito atau Level 42.
Lagu Rafly hanya dimasukkan dalam program lagu daerah. Radio yang memutar lagu Rafly adalah radio yang dikelompokkan sebagai radio "kelas bawah". Kondisi ini berubah, ketika lagu itu diaransemen ulang dengan warna music jazz oleh Dwiki Dharmawan. Beberapa bulan lalu Rafly tampil membawakan lagu Moekandroe dengan warna jazz di sebuah televisi swasta. Orang-orang pun langsung menilai lagu Moekandroe naik kelas.
Lagu Moekandroe adalah lagu yang terdapat dalam album Moekandroe yang dirilis tahun 2006 lalu. Album ini kental warna Aceh dengan mengedepankan alat musik serune kalee dan rapai. Hal itu juga terlihat dari cara Rafly bernyanyi yang mengikuti gaya Rapai Geleng Aceh Selatan. Tetapi pada kemasan jazz, instrumen yang lebih menonjol adalah piano yang dimainkan Dwiki Dharmawan.
Hal yang perlu kita ingat, music jazz adalah warna music yang berasal dari negara barat. Mengutip Wikipedia, jazz  adalah aliran musik yang berasal dari Amerika Serikat pada awal abad ke-20 dengan akar-akar dari musik Afrika dan Eropa. Musik jazz banyak menggunakan gitar, trombon, piano, trompet, dan saksofon. Elemen penting dalam jazz adalah blue notes, improvisasi, polyrhythms, sinkopasi, dan shuffle note. Maka saat lagu Moekandroe itu dikemas dengan warna jazz, instrument Aceh yaitu serune kalee dan rapai menjadi tidak dominan. Padahal dua alat musik inilah menjadi identitas musik Aceh yang selama ini mewarnai lagu Rafly.

Rekomendasi
            Hingga kini industry music dunia masih dikuasai Amerika Serikat. Ada lima perusahaan terkemuka yang menguasai dunia musik, yaitu Universal, Sony Music, BMG, Warner Music, dan EMI. Keberadaan perusahaan ini bukan sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap lagu-lagu. Perusahaan ini harus dilihat sebagai institusi yang membentuk pola pikir masyarakat dunia tentang jenis musik apa yang harus didengar. Yang perlu diingat, mendengar musik bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga menentukan kelas sosial ekonomi.
            Kebijakan media siaran (radio dan televisi) menetapkan lagu berdasarkan indikator social ekonomi pendengar membuktikan hegemoni barat terhadap budaya lokal.  Alasannya, lagu yang kelompokkan dalam lagu-lagu kelas atas adalah lagu-lagu barat. Sementara lagu-lagu daerah, dikelompokkan sebagai lagu masyarakat kelas bawah.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kebudayaan lokal khususnya lagu daerah akan hilang. Masyarakat  menjadi enggan mendengar lagu-lagu daerah karena mendengar lagu daerah dinilai tidak berkelas. Karena itu, media siaran harus berani menyetarakan lagu-lagu daerah dengan lagu-lagu barat.  Caranya, penyiaran lagu-lagu daerah tidak perlu diputar dalam suatu program khusus tetapi lagu daerah itu diputar di antara lagu-lagu barat.  Tujuannya, agar lagu daerah itu sejajar dengan lagu barat.(tulisan ini dimuat di Harian Waspada)

Senin, 23 Desember 2013

Indonesia Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?



Indonesia Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Pascasarjana IAIN SU
Pemerintah menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) di tahun 2013 sebesar 72 juta ton, lebih tinggi dari tahun lalu. Sebagai pendukung, petani dibekali dengan benih varietas unggul. Hal ini diungkapkan Menteri Pertanian Suswono saat melakukan panen benih padi varietas mekongga kelas benih sebar di persawahan Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk (UPT BBI) Padi Murni Tanjung Morawa, Jumat (11/1) di Medan.
Target pemerintah ini bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Ketersediaan benih unggul dan pupuk subsidi merupakan problema akut. Selain itu, lahan pertanian terus berkurang. Setiap tahun, 100.000 hektare lahan pertanian berubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini juga dinyatakan Menteri Pertanian pada acara yang sama. Mentan mengaku saat melakukan perjalanan Medan – Langsa (Aceh) menemukan banyak sawah produktif yang berubah menjadi perkebunan sawit. (Lihat Medan Bisnis, hal 4)
Penyusutan lahan sawah tidak hanya disebabkan petani beralih ke sawit. Alih fungsi lahan pertanian terbesar sebenarnya ke sektor properti. Seandainya Menteri Pertanian lebih teliti, ia pasti menyaksikan lahan sawah telah disulap menjadi kompleks perumahan mewah sepanjang Medan – Langsa yang dilaluinya.
            Saat itu hanya tersedia lahan 13,20 juta hektar. Jika areal sawah tidak ditambah, tahun 2015 Indonesia terancam mengalami defisit 730.000 (0,73 juta) hektar. Perhitungan ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk. Tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 255 juta jiwa dengan asumsi konsumsi beras per kapita 135,1 kilogram per kapita/tahun. Untuk memenuhi konsumsi akan dibutuhkan lahan tanaman padi 13,38 juta hektar.
            Akibat kekurangan lahan, tidak heran Indonesia membutuhkan pencetakan lahan baru. Pada tahun 2011 lalu, Pemerintah telah berencana membuka 200.000 hektar lahan pertanian baru untuk mengejar surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Areal hutan yang bisa dialihfungsikan ini masuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan luas 9,09 juta hektar.

Menimbang Solusi
Selintas persoalan pangan di Indonesia sangat sederhana. Kekurangan lahan, solusinya membuka lahan baru. Untuk meningkatkan produksi, caranya benih unggul dan pupuk. Mengatasi peralihan fungsi lahan solusinya membuat Kepres larangan alih fungsi lahan. Persoalan terberat, apakah pemerintah mau mengerjakanya?
Pemerintah harus berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian pangan. Pemerintah dituntut membuat kebijakan yang konprehensif dan tidak parsial. Kebijakan dimulai dengan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah secara nasional yang ditopang kebijakan lainnya. Kebijakan lain yang diperlukan adalah larangan konversi lahan, penyediaan benih dan pupuk subsidi, larangan impor produk holtikultura, termasuk larangan warga asing memiliki properti.
Kekurangan lahan di Indonesia disebabkan pemerintah tidak tegas mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah. Akibatnya, lahan pertanian dialih-fungsikan untuk keperluan lainnya, seperti pemukiman. Pemerintah juga tidak menjaga ketersedian pupuk sehingga sulit diperoleh dan harga tinggi. Ongkos pertanian pun melambung. Sialnya, harga gabah rendah.  Petani akhirnya beralih ke sektor lain yang menguntungkan seperti sawit.
Selain itu pemerintah membuka keran impor besar-besaran sehingga harga komoditas pertanian lokal anjlok. Saat kondisi seperti ini, para pengembang pun datang menawar tanah pertanian dengan harga tinggi. Tawaran ini  tentu menggiurkan petani. Lahan padi pun berubah  menjadi ladang beton.  
Seiring pembukaan areal sawah baru, pemerintah harus menerbitkan aturan larangan konversi lahan pertanian ke sektor lain. Pemerintah daerah juga harus membuat Rencana Tata Ruang Wilayah untuk jangka panjang. Selain itu, pemerintah daerah tidak dibenarkan menerbitkan Surat Izin Mendirikan Bangunan di areal persawahan. Jika ini tidak dilakukan, alih fungsi lahan akan terus terjadi meski lahan baru terus dibuka.
Selain itu, pemerintah hendaknya tetap memberlakukan larangan warga asing memiliki properti di Indonesia. Jika pemerintah mengizinkan warga asing memiliki properti, bisnis properti di Indonesia  pasti semakin meningkat. Di saat bisnis properti booming, harga tanah pun melambung tinggi. Petani tentu tergiur untuk menjual tanahnya kepada pengembang. Akibatnya, lahan pertanian pun menyusut kembali. Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi pertanian. Produksi beras tentu tidak akan memenuhi target.
Sejak gerakan Revolusi Hijau dilakukan Orde Baru, petani tergantung pada bibit unggul dan pupuk. Sialnya, bibit unggul dan pupuk tidak mencukupi kebutuhan petani. Berita kelangkaan pupuk bersubsidi sudah menjadi berita biasa. Akibatnya, petani menggunakan pupuk non subsidi dengan harga tinggi. Sementera untuk memenuhi kebutuhan benih, petani terpaksa menggunakan bibit sembarangan. Dengan kondisi seperti ini hasil produksi tidak memenuhi target dan merugikan petani.  
Tahun 2014, Pemilu Legislatif dan Presiden akan digelar. Pemerintahan Indonesia akan berganti. Pertanyaanya, apakah pemerintahan baru serius mewujudkan kemandirian pangan? Entahlah.(tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis)

Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim



Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim
(Analisa Wacana Pragmatik Surah Ash-Shafat Ayat 102)
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Prodi Komunikasi Islam Pascasarjana IAIN SU

            "Kalau anak-anak dulu ditengoki aja udah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak becakap mereka tak peduli". Begitu komentar seorang ayah terhadap prilaku anak-anaknya. Apa yang diucapkannya  agaknya mewakili pernyataan para orang tua. Memang saat ini banyak orang tua bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali apa yang disampaikan orang tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi penting bagi orang tua memikirkan gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya.  Sebetulnya, orang tua bisa meniru gaya komunikasi Nabi Ibrahim dengan anaknya. Memang gaya komunikasi Nabi Ibrahim ini merujuk Alquran. Tetapi, hemat saya, gaya komunikasi ini berlaku universal yang bisa ditiru oleh orang tua lintas keyakinan.
Tulisan ini adalah analisa wacana pragmatic terhadap surah Ash-Shafat ayat 102. Ayat ini bercerita tentang dialog nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail tentang penyembelihan (kurban). Saat itu, Ibrahim mengatakan bahwa ia bermimpi melihat dirinya menyembelih si anak (Ismail). Dalam ajaran Islam, ayat inilah yang dijadikan dalil untuk melakukan penyembelihan (kurban) pada hari Raya Idul Adha.
Mari kita perhatikan surah Ash-Shafat  ayat 102 yang menceritakan dialog antara nabi Ibrahim dengan anaknya, Ismail. Redaksi  ayat diterjemahkan sebagai berikut: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Menjelaskan ayat ini, penulis  menggunakan analisa wacana pragmatik yang kerap digunakan dalam studi bahasa dan komunikasi. Analisa wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Sementara pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan definisi ini, maka analisa wacana pragmatik dapat diartikan sebagai telaah mengenai makna dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan suatu jenis kalimat dengan makna yang berbeda. Tidak jarang, kalimat perintah digunakan untuk melarang. Contoh, seorang ibu yang melarang anaknya memanjat pohon dengan menggunakan kata "panjat, panjat lah". Kalimat ini jenisnya kalimat perintah karena terdapat partikel lah. Tetapi dalam  konteks percakapan ibu dan anak, kalimat itu bermakna larangan. Si anak sebagai peserta komunikasi sadar kalau kalimat itu adalah larangan walau bentuk kalimat menyuruh.
     
Kredibilitas Tinggi

Topik pembicaraan antara Ibrahim dan Ismail  adalah mimpi Ibrahim. Dalam mimpi itu, Ibrahim melihat dirinya menyembelih anaknya sendiri. Dalam dialog Ibrahim meminta anaknya memikirkan mimpi itu. Tetapi jawaban yang muncul dari Ismail adalah meminta Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Mari kita perhatikan dialognya.
      Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
      Ismail menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
      Ibrahim sama sekali tidak mengatakan bahwa Allah memerintahkan dirinya untuk menyembelih Ismail. Tetapi Ismail memaknai mimpi yang diceritakan ayahnya itu wahyu Allah untuk menyembelihnya. Maka timbul pertanyaan mengapa Ismail begitu percaya  cerita ayahnya itu adalah wahyu Allah?
      Dalam kajian komunikasi, penerima pesan (komunikan) percaya kepada penyampai pesan (komunikator) apabila komunikator memiliki kredibilitas tinggi. Everett M Rogers (1983) mengatakan kredibilitas adalah tingkat di mana komunikator dipersepsi sebagai suatu kepercayaan dan kemampuan oleh penerima. Menurut Alexis S Tan (1981) kredibilitas sumber terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dengan sejauhmana komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang benar, sedangkan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan bahwa komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan.
      Dua hal tersebut dimiliki Ibrahim, sehingga ia menjadi seorang komunikator dengan kredibilitas tinggi di hadapan anaknya, Ismail. Merujuk Alquran, diceritakan banyak peristiwa yang membuktikan Ibrahim adalah orang yang berstatus nabi. Mulai dari pertentangannya dengan ayahnya sendiri, sampai kemudian Ibrahim dibakar oleh Raja Namruz. Peristiwa hijrahnya ke Mekkah, juga berkaitan dengan  posisinya sebagai Nabi. Peristiwa tersebut juga diketahui Ismail sebagai seorang anak. Hal itulah yang mengokohkan posisi Ibrahim di mata Ismail. Sehingga ketika Ibrahim menceritakan mimpi, Ismail langsung memahami maksud sang ayah.

Kesamaan Pengetahuan dan Pengalaman
Proses komunikasi akan berlangsung efektif, jika komunikator dan komunikan memiliki kesamaan.  Wilbur Schramm  menyebut ada dua kesamaan yang membuat komunikasi efektif, yaitu  frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman). Schramm menyatakan bahwa filed of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif. (Effendy,2003:30-31)
Merujuk ke surah Ash-Shafat ayat 102 itu, disebutkan bahwa ada kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Hal itu dapat dilihat dari redaksi awal ayat: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim....".  Ada dua hal yang ditunjukkan dari redaksi ayat ini. Pertama; usia Ismail saat itu berada pada usia memahami perkataan dan peristiwa dengan baik. Kedua; Ibrahim dan Ismail melakukan berbagai macam kegiatan bersama. Walau dalam ayat tersebut tidak diceritakan secara detil bentuk usaha/ kegiatan yang dilakukan keduanya.
Tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses komunikasi itu, adalah kerelaan Ismail untuk "dikurbankan". Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa "penyembelihan" itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu berhasil terpenuhi. Hal itu disebabkan, kesamaan  frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman). Kondisi itu juga ditopang dengan usia Ismail saat itu yang mampu berfikir dengan baik.
Tan menyebutkan unsur kredibilitas adalah kepercayaan. Komunikan percaya komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Saat berdialog dengan Ismail, kalimat yang disampaikan Ibrahim tidak menunjukkan bahwa peristiwa penyembelihan itu untuk kepentingan Ibrahim. Kalimat yang disampaikan Ibrahim hanya menceritakan mimpi apa adanya. Ibrahim tidak menambahkan keterangan pada mimpi itu sebagai wahyu dari Allah. Kalimat itu berupa: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu". Kepercayaan Ismail kepada Ibrahim semakin menguat ketika Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang  perisitiwa itu dengan kalimat  "Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Kepercayaan Ismail itu muncul karena kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail.  Peristiwa yang dialami bersama, membuat Ismail menempatkan Ibrahim sebagai seseorang yang melakukan sesuatu semata-mata karena perintah Tuhan. Ismail percaya ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi, kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, Ismail juga harus mengerjakan perintah Tuhan, karena Ismail juga mengakui dirinya sebagai hamba Allah.

Rekomendasi
            Dari uraian di atas, dapat diambil point-point sebagai acuan dalam berkomunikasi kepada anak. Pertama; orang tua hendaknya selalu melakukan kegiatan bersama sehingga terbentuk kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan  filed of experience (bidang pengalaman) antara orang tua dan anak. Kedua; menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Hal inilah yang akan meningkatkan kredibilitas orang tua di mata anak. Tan menyebutkan kredibilitas adalah penilaian komunikan terhadap komunikator bahwa komunikator memiliki pengetahuan dan tidak memihak atas pesan yang disampaikan. Penilaian komunikan ini bisa terwujud jika komunikator (orang tua) menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatanya.
Ketiga; menyesuaikan pesan/ informasi yang disampaikan kepada anak sesuai dengan usia sang anak. Sering kali, orang tua tidak menyesuaikan perkataan (informasi) yang disampaikan dengan usia anak. Kondisi ini membuat anak tidak mampu menalar pesan yang disampaikan dengan baik. Hasilnya, tujuan komunikasi tidak akan tercapai.
Ketiga point di atas hendaknya bisa menjadi acuan para orang tua dalam berkomunikasi kepada anaknya. Jika hal ini dilakukan, penulis yakin komunikasi yang dilakukan akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan oleh Ibrahim. Pertanyaan yang muncul, apakah orang tua mampu mengikuti gaya komunikasi yang dicontohkan Ibrahim itu.