Menghitung Angka Golput Pada Pilkada Sumut
Oleh : Muhammad Hidayat
Penyiar Radio Sindo Medan
Keyword : partisipasi pemilih
Jumlah
pemilih yang tidak menggunakan hak pilih – lazim disebut golput – saat ini
semakin meningkat. Menurut catatan JPPR, dari 26 Pilkada Gubernur sejak
2005 hingga 2008, 13 diantaranya dimenangkan oleh golput. Pada Pilkada DKI
Jakarta September lalu, angka golput mencapai 33,2 persen. Angka ini melampaui
perolehan suara Foke-Nara, dan mendekati perolehan Jokowi-Ahok.
Lalu bagaimana dengan Pilkada Sumut 2013?
Apakah angka Golput berkurang atau jangan-jangan bertambah? Memang, seberapa
besarpun angka Golput, tidak akan mempengaruhi hasil Pilkada. Karena, pemenang
Pilkada hanya dihitung dari suara yang memilih pada hari H. Namun, banyaknya
warga yang enggan memberikan hak suaranya dapat dijadikan indikasi masyarakat
tidak berharap banyak dari proses demokratisasi itu.
Menjoblos Sama Membeli Produk
Orang menjoblos pada Pemilu sama halnya memilih suatu produk di swalayan atau mall untuk memenuhi kebutuhannya. Philip Kotler mengatakan proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali kebutuhannya. Setelah itu mencari informasi produk yang mampu memenuhi kebutuhannya. Setelah melewati proses ini, tidak serta merta konsumen membeli produk tersebut. Biasanya, konsumen akan melakukan evaluasi, membandingkan berbagai produk sejenis.
Setelah
mengkonsumsi suatu produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas. Jika produk itu memenuhi harapan maka pembeli akan merasa
puas. Sebaliknya, kinerja produk lebih rendah dibanding harapan pembeli,
pembeli akan kecewa.
Proses di atas juga berlaku saat warga memilih kepala daerah. Saat berlangsung Pilkada, warga akan mencari informasi sosok calon yang akan dipilih. Apakah kandidat itu mampu memenuhi kebutuhan warga. Seharusnya, pada masa kampanye kandidat dan partai politik mampu menyakinkan pemilih.
Pasca pemilihan,
warga akan mengukur tingkat kepuasannya. Jika kinerja kandidat yang dipilih
lebih rendah dari harapan maka pemilih akan kecewa. Hal inilah yang terjadi berulang-ulang
selama pemilu sejak 1999 lalu. Ketika warga tidak merasa puas, selanjutnya
pemilih enggan menggunakan hak pilihnya.
Peluang Golput
Pilkada Sumut Besar
Jika Pilkada DKI Jakarta dijadikan bandingan,
maka peluang Golput pada Pilkada Sumut cukup besar. Pada Pilkada DKI Jakarta
lalu, jumlah golput mencapai 33,2 persen. Padahal Jokowi – Ahok mampu
meyakinkan pemilih bahwa mereka mampu memebenahi Jakarta. Sementara itu, hingga
kini tidak ada satupun calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut yang bisa meyakinkan pemilih setara dengan
Jokowi – Ahok.
Pada Pilkada Sumut 2013, ada lima pasangan yang maju, yaitu Gatot
Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi, Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, Effendi Muara
Sakti Simbolon-Djumiran Abdi, Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, dan Amri
Tambunan-RE Nainggolan.
Dua orang calon gubernur adalah
kepala daerah, yaitu Gatot Pujonugroho yang merupakan Plt Gubernur Sumatera
Utara, dan Amri Tambunan adalah bupati Deli Serdang selama dua periode. Tiga calon
yang lain adalah pejabat dan politisi. Chairuman Harahap merupakan mantan
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang kini menjadi Anggota DPR RI dari
Golkar. Gus Irawan Pasaribu adalah mantan Dirut Bank Sumut dan Effendi Simbolon
merupakan Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan. Profil kelima calon ini tidak bisa
meyakinkan pemilih bahwa kandidat bisa menenuhi harapan.
Sebagai
kepala daerah, Amri Tambunan dan Gatot Pujonugroho tidak memiliki rekam jejak
yang spektakuler. Selama mengganti Syamsul Arifin, Gatot Pujonugroho belum melahirkan
kebijakan dan pembangunan yang mencengangkan. Hal ini bisa ditolerir karena
pelaksana tugas tidak berwenang penuh. Segala kebijakan harus disetujui Menteri
Dalam Negeri. Selain itu, Gatot Pujonugroho harus "berdamai" dengan
anggota DPRD Sumatera.
Begitu
juga Amri Tambunan. Selama periode kedua menjadi Bupati Deliserdang, tidak ada
pembangunan yang membuat orang berdecak kagum. Jika membandingkan Pilkada
Deliserdang 2008 lalu, Amri Tambunan melakukan hal yang spektakuler. Kala itu,
pemerintah Deli Serdang membangun jalan yang menghubungkan beberapa wilayah, seperti
Percut, Bandar Setia, Laut Dendang, Tembung
serta Medan. Hal ini yang membuat perolehan suara mencapai 60 persen
lebih. Kini, kondisinya berbeda. Jalan itu rusak parah dan tidak diperbaiki
sama sekali.
Begitu
juga Chairuman Harahap. Selama menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
maupun anggota DPR RI, Chairuman tidak mempunyai catatan kinerja yang prestius.
Kandidat lain juga seperti itu. Meski cukup berprestasi memajukan PT Bank Sumut,
tetapi prestasi itu belum bisa membuat
pemilih yakin kepada calon Gubernur Gus Irawan Pasaribu. Apalagi Effendi
Simbolon. Orang Sumut tidak mengenalnya, karena dirinya tidak menetap di Sumut.
Effendi Simbolon terpilih jadi Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jakarta.
Dari uraian di atas, disimpulkan peluang
golput pada Pilkada Sumut sangat besar. Alasanya, kandidat Gubernur dan Wakil
Gubernur belum mampu meyakinkan pemilih untuk memilih. Kecuali selama masa
kampanye ini mereka membuat gebrakan yang bisa menarik simpati. Kalau tidak,
angka golput tetap tinggi. (tulisan ini telah dimuat harian Medan Bisnis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar