Senin, 23 Desember 2013

Menghitung Angka Golput Pada Pilkada Sumut



Menghitung Angka Golput Pada Pilkada Sumut
Oleh : Muhammad Hidayat
Penyiar Radio Sindo Medan
 Keyword : partisipasi pemilih
            Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih – lazim disebut golput – saat ini semakin meningkat. Menurut catatan JPPR, dari 26 Pilkada Gubernur sejak 2005 hingga 2008, 13 diantaranya dimenangkan oleh golput. Pada Pilkada DKI Jakarta September lalu, angka golput mencapai 33,2 persen. Angka ini melampaui perolehan suara Foke-Nara, dan mendekati perolehan Jokowi-Ahok.
Lalu bagaimana dengan Pilkada Sumut 2013? Apakah angka Golput berkurang atau jangan-jangan bertambah? Memang, seberapa besarpun angka Golput, tidak akan mempengaruhi hasil Pilkada. Karena, pemenang Pilkada hanya dihitung dari suara yang memilih pada hari H. Namun, banyaknya warga yang enggan memberikan hak suaranya dapat dijadikan indikasi masyarakat tidak berharap banyak dari proses demokratisasi itu.

 

Menjoblos Sama Membeli Produk

            Orang menjoblos pada Pemilu sama halnya memilih suatu produk di swalayan atau mall untuk memenuhi kebutuhannya. Philip Kotler mengatakan proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali kebutuhannya. Setelah itu mencari  informasi  produk yang mampu memenuhi kebutuhannya. Setelah melewati proses ini, tidak serta merta konsumen membeli produk tersebut. Biasanya, konsumen akan melakukan evaluasi, membandingkan berbagai produk sejenis.

            Setelah mengkonsumsi suatu produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas.  Jika produk itu  memenuhi harapan maka pembeli akan merasa puas. Sebaliknya, kinerja produk lebih rendah dibanding harapan pembeli, pembeli akan kecewa.

Proses di atas juga berlaku saat warga memilih kepala daerah. Saat berlangsung Pilkada, warga akan mencari informasi sosok calon yang akan dipilih. Apakah kandidat itu mampu memenuhi kebutuhan warga. Seharusnya, pada masa kampanye kandidat dan partai politik mampu menyakinkan pemilih.

            Pasca pemilihan, warga akan mengukur tingkat kepuasannya. Jika kinerja kandidat yang dipilih lebih rendah dari harapan maka pemilih akan kecewa. Hal inilah yang terjadi berulang-ulang selama pemilu sejak 1999 lalu. Ketika warga tidak merasa puas, selanjutnya pemilih enggan menggunakan hak pilihnya.
           
Peluang Golput Pilkada Sumut Besar
Jika Pilkada DKI Jakarta dijadikan bandingan, maka peluang Golput pada Pilkada Sumut cukup besar. Pada Pilkada DKI Jakarta lalu, jumlah golput mencapai 33,2 persen. Padahal Jokowi – Ahok mampu meyakinkan pemilih bahwa mereka mampu memebenahi Jakarta. Sementara itu, hingga kini tidak ada satupun calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut  yang bisa meyakinkan pemilih setara dengan Jokowi – Ahok.
Pada Pilkada Sumut 2013, ada lima pasangan yang maju, yaitu Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi, Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, Effendi Muara Sakti Simbolon-Djumiran Abdi, Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, dan Amri Tambunan-RE Nainggolan.
            Dua orang calon gubernur adalah kepala daerah, yaitu Gatot Pujonugroho yang merupakan Plt Gubernur Sumatera Utara, dan Amri Tambunan adalah bupati Deli Serdang selama dua periode. Tiga calon yang lain adalah pejabat dan politisi. Chairuman Harahap merupakan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang kini menjadi Anggota DPR RI dari Golkar. Gus Irawan Pasaribu adalah mantan Dirut Bank Sumut dan Effendi Simbolon merupakan Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan. Profil kelima calon ini tidak bisa meyakinkan pemilih bahwa kandidat bisa menenuhi harapan.  
Sebagai kepala daerah, Amri Tambunan dan Gatot Pujonugroho tidak memiliki rekam jejak yang spektakuler. Selama mengganti Syamsul Arifin, Gatot Pujonugroho belum melahirkan kebijakan dan pembangunan yang mencengangkan. Hal ini bisa ditolerir karena pelaksana tugas tidak berwenang penuh. Segala kebijakan harus disetujui Menteri Dalam Negeri. Selain itu, Gatot Pujonugroho harus "berdamai" dengan anggota DPRD Sumatera.
Begitu juga Amri Tambunan. Selama periode kedua menjadi Bupati Deliserdang, tidak ada pembangunan yang membuat orang berdecak kagum. Jika membandingkan Pilkada Deliserdang 2008 lalu, Amri Tambunan melakukan hal yang spektakuler. Kala itu, pemerintah Deli Serdang membangun jalan yang menghubungkan beberapa wilayah, seperti Percut, Bandar Setia, Laut Dendang, Tembung  serta Medan. Hal ini yang membuat perolehan suara mencapai 60 persen lebih. Kini, kondisinya berbeda. Jalan itu rusak parah dan tidak diperbaiki sama sekali.
Begitu juga Chairuman Harahap. Selama menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara maupun anggota DPR RI, Chairuman tidak mempunyai catatan kinerja yang prestius. Kandidat lain juga seperti itu. Meski cukup berprestasi memajukan PT Bank Sumut, tetapi prestasi itu belum bisa membuat pemilih yakin kepada calon Gubernur Gus Irawan Pasaribu. Apalagi Effendi Simbolon. Orang Sumut tidak mengenalnya, karena dirinya tidak menetap di Sumut. Effendi Simbolon terpilih jadi Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jakarta.  
Dari uraian di atas, disimpulkan peluang golput pada Pilkada Sumut sangat besar. Alasanya, kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur belum mampu meyakinkan pemilih untuk memilih. Kecuali selama masa kampanye ini mereka membuat gebrakan yang bisa menarik simpati. Kalau tidak, angka golput tetap tinggi. (tulisan ini telah dimuat harian Medan Bisnis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar