Meniru Gaya Komunikasi Ibrahim
(Analisa Wacana Pragmatik Surah Ash-Shafat Ayat 102)
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Prodi Komunikasi Islam Pascasarjana IAIN SU
"Kalau anak-anak dulu ditengoki
aja udah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak becakap mereka tak
peduli". Begitu komentar seorang ayah terhadap prilaku anak-anaknya. Apa
yang diucapkannya agaknya mewakili
pernyataan para orang tua. Memang saat ini banyak orang tua bingung bagaimana
cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali apa yang disampaikan orang
tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi penting bagi orang tua memikirkan
gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sebetulnya, orang tua bisa meniru gaya
komunikasi Nabi Ibrahim dengan anaknya. Memang gaya komunikasi Nabi Ibrahim ini
merujuk Alquran. Tetapi, hemat saya, gaya komunikasi ini berlaku universal yang
bisa ditiru oleh orang tua lintas keyakinan.
Tulisan ini adalah analisa wacana pragmatic terhadap surah Ash-Shafat
ayat 102. Ayat ini bercerita tentang dialog nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail
tentang penyembelihan (kurban). Saat itu, Ibrahim mengatakan bahwa ia bermimpi
melihat dirinya menyembelih si anak (Ismail). Dalam ajaran Islam, ayat inilah
yang dijadikan dalil untuk melakukan penyembelihan (kurban) pada hari Raya Idul
Adha.
Mari kita perhatikan surah Ash-Shafat ayat 102 yang menceritakan dialog antara nabi
Ibrahim dengan anaknya, Ismail. Redaksi
ayat diterjemahkan sebagai berikut: "Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Menjelaskan ayat ini, penulis menggunakan analisa wacana pragmatik yang
kerap digunakan dalam studi bahasa dan komunikasi. Analisa wacana adalah studi
tentang struktur pesan dalam komunikasi. Sementara pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu
bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Dengan definisi ini,
maka analisa wacana pragmatik dapat diartikan sebagai telaah
mengenai makna dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan suatu jenis kalimat dengan makna
yang berbeda. Tidak jarang, kalimat perintah digunakan untuk melarang. Contoh,
seorang ibu yang melarang anaknya memanjat pohon dengan menggunakan kata
"panjat, panjat lah". Kalimat ini jenisnya kalimat perintah karena
terdapat partikel lah. Tetapi dalam
konteks percakapan ibu dan anak, kalimat itu bermakna larangan. Si anak
sebagai peserta komunikasi sadar kalau kalimat itu adalah larangan walau bentuk
kalimat menyuruh.
Kredibilitas Tinggi
Topik pembicaraan antara Ibrahim dan Ismail adalah mimpi Ibrahim. Dalam mimpi itu, Ibrahim
melihat dirinya menyembelih anaknya sendiri. Dalam dialog Ibrahim meminta
anaknya memikirkan mimpi itu. Tetapi jawaban yang muncul dari Ismail adalah
meminta Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Mari kita perhatikan dialognya.
Ibrahim
berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Ismail
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Ibrahim sama
sekali tidak mengatakan bahwa Allah memerintahkan dirinya untuk menyembelih
Ismail. Tetapi Ismail memaknai mimpi yang diceritakan ayahnya itu wahyu Allah
untuk menyembelihnya. Maka timbul pertanyaan mengapa Ismail begitu percaya cerita ayahnya itu adalah wahyu Allah?
Dalam kajian
komunikasi, penerima pesan (komunikan) percaya kepada penyampai pesan
(komunikator) apabila komunikator memiliki kredibilitas tinggi. Everett
M Rogers (1983) mengatakan kredibilitas adalah tingkat di mana komunikator
dipersepsi sebagai suatu kepercayaan dan kemampuan oleh penerima. Menurut
Alexis S Tan (1981) kredibilitas sumber terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian
dan kepercayaan. Keahlian diukur dengan sejauhmana komunikan menganggap
komunikator mengetahui jawaban yang benar, sedangkan kepercayaan
dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan bahwa komunikator tidak
memihak dalam penyampaian pesan.
Dua hal
tersebut dimiliki Ibrahim, sehingga ia menjadi seorang komunikator dengan
kredibilitas tinggi di hadapan anaknya, Ismail. Merujuk Alquran,
diceritakan banyak peristiwa yang membuktikan Ibrahim adalah orang yang berstatus nabi. Mulai dari
pertentangannya dengan ayahnya sendiri, sampai kemudian Ibrahim dibakar oleh
Raja Namruz. Peristiwa hijrahnya ke Mekkah, juga berkaitan dengan posisinya sebagai Nabi. Peristiwa tersebut juga diketahui
Ismail sebagai seorang anak. Hal itulah yang mengokohkan posisi Ibrahim di mata
Ismail. Sehingga ketika Ibrahim menceritakan mimpi, Ismail langsung memahami
maksud sang ayah.
Kesamaan Pengetahuan dan
Pengalaman
Proses komunikasi akan berlangsung efektif, jika
komunikator dan komunikan memiliki kesamaan.
Wilbur Schramm menyebut ada dua kesamaan yang membuat
komunikasi efektif, yaitu frame of reference
(kerangka acuan) dan filed of
experience (bidang pengalaman). Schramm menyatakan bahwa filed of
experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk
terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang
pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya
jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul
kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi
tidak komunikatif. (Effendy,2003:30-31)
Merujuk ke surah Ash-Shafat ayat 102 itu, disebutkan bahwa ada
kesamaan pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Hal itu dapat
dilihat dari redaksi awal ayat: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim....". Ada dua hal yang ditunjukkan dari redaksi
ayat ini. Pertama; usia Ismail saat itu berada pada usia memahami
perkataan dan peristiwa dengan baik. Kedua; Ibrahim dan Ismail melakukan
berbagai macam kegiatan bersama. Walau dalam ayat tersebut tidak diceritakan
secara detil bentuk usaha/ kegiatan yang dilakukan keduanya.
Tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses
komunikasi itu, adalah kerelaan Ismail untuk "dikurbankan". Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa
"penyembelihan" itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua
target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu berhasil terpenuhi. Hal
itu disebabkan, kesamaan frame of reference
(kerangka acuan) dan filed of
experience (bidang pengalaman). Kondisi itu juga ditopang dengan usia
Ismail saat itu yang mampu berfikir dengan baik.
Tan menyebutkan unsur kredibilitas adalah kepercayaan.
Komunikan percaya komunikator tidak memihak dalam penyampaian pesan. Saat
berdialog dengan Ismail, kalimat yang disampaikan Ibrahim tidak menunjukkan
bahwa peristiwa penyembelihan itu untuk kepentingan Ibrahim. Kalimat yang
disampaikan Ibrahim hanya menceritakan mimpi apa adanya. Ibrahim tidak
menambahkan keterangan pada mimpi itu sebagai wahyu dari Allah. Kalimat itu
berupa: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu". Kepercayaan Ismail kepada Ibrahim semakin menguat ketika
Ibrahim meminta pendapat Ismail tentang
perisitiwa itu dengan kalimat "Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Kepercayaan Ismail itu muncul karena kesamaan
pengalaman dan pengetahuan antara Ibrahim dan Ismail. Peristiwa yang dialami bersama, membuat Ismail
menempatkan Ibrahim sebagai seseorang yang melakukan sesuatu semata-mata karena
perintah Tuhan. Ismail percaya ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi,
kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu,
Ismail juga harus mengerjakan perintah Tuhan, karena Ismail juga mengakui
dirinya sebagai hamba Allah.
Rekomendasi
Dari
uraian di atas, dapat diambil point-point sebagai acuan dalam berkomunikasi
kepada anak. Pertama; orang tua hendaknya selalu melakukan kegiatan bersama
sehingga terbentuk kesamaan frame of reference (kerangka acuan) dan filed of experience (bidang pengalaman)
antara orang tua dan anak. Kedua; menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan.
Hal inilah yang akan meningkatkan kredibilitas orang tua di mata anak. Tan
menyebutkan kredibilitas adalah penilaian komunikan terhadap komunikator bahwa komunikator
memiliki pengetahuan dan tidak memihak atas pesan yang disampaikan. Penilaian
komunikan ini bisa terwujud jika komunikator (orang tua) menyelaraskan antara
perkataan dengan perbuatanya.
Ketiga; menyesuaikan pesan/ informasi yang disampaikan kepada anak
sesuai dengan usia sang anak. Sering kali, orang tua tidak menyesuaikan
perkataan (informasi) yang disampaikan dengan usia anak. Kondisi ini membuat
anak tidak mampu menalar pesan yang disampaikan dengan baik. Hasilnya, tujuan komunikasi
tidak akan tercapai.
Ketiga point di atas hendaknya bisa menjadi acuan para orang tua
dalam berkomunikasi kepada anaknya. Jika hal ini dilakukan, penulis yakin komunikasi
yang dilakukan akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan oleh Ibrahim. Pertanyaan
yang muncul, apakah orang tua mampu mengikuti gaya komunikasi yang dicontohkan
Ibrahim itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar