Senin, 23 Desember 2013

Meruntuhkan Hegemoni Jakarta Dalam Dunia Sastra



Meruntuhkan Hegemoni Jakarta Dalam Dunia Sastra
Oleh : Muhammad Hidayat
Penyiar Radio Sindo di Medan
Keyword : sastra
Desakan menentang dominasi Jakarta terhadap sastra daerah kian mengemuka. Hal ini mencuat setelah sejumlah sastrawan mendeklarasikan Gerakan Sastra Sumatera Merdeka di Taman Budaya Medan baru-baru ini. Sebenarnya topic diskusi ini merupakan permasalahan lama yang tak kunjung usai.
Selama 32 tahun lebih, sastrawan daerah memang berada dalam hegemoni sastra Jawa. Hal ini sebenarnya bukan terjadi hanya di dunia sastra, tetapi juga dalam dunia kesenian secara umum. Hal itu tidak berubah walau rezim Orde Baru telah tumbang. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata sastra Jawa untuk menunjuk karya sastra yang diterbitkan di pulau Jawa.
Ada yang berpendapat kemandegan sastra daerah itu karena kualitas karya sastra putra daerah tidak berkualitas. Tidak memenuhi nilai estetika yang dituntut dalam dunia sastra. Pendek kata, jika ingin bangkit maka sastrawan daerah harus mampu menciptakan karya sastra yang berkualitas.
Memang, sebuah karya sastra akan menarik jika memiliki unsur estetis. Tetapi mengutamakan nilai estetika saja, juga tidak tepat. Sebab, karya sastra bisa popular jika ditopang infrastruktur yang baik. Kalau menyerahkan hal ini kepada sastrawan tentulah bukan hal bijak. Sebab, sastrawan tidak memiliki kewenangan untuk menyediakan hal itu.

Tanggung Jawab Negara
Dalam teori pembentukan negara, pemerintah adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh warganya mengelola harta publik untuk kepentingan publik. Pemerintah wajib menyediakan sarana yang mendukung kebutuhan hidup warganya, termasuk sarana pengembangan sastra. Persoalannya, pemerintah daerah tidak serius menyiapkan kebutuhan sastrawan. Dua hal penting untuk mengembangkan sastra daerah, yaitu perusahaan penerbitan dan media massa.
Saat ini, kalangan sastrawan sangat bergantung kepada penerbit Jawa untuk mempublikasikan karyanya. Tidak sedikit sastrawan memilih hijrah ke Jakarta. Beberapa bulan lalu, Pustaka Al-Kautsar menerbitkan novel Pincalang karya sastrawan Sumut Idris Pasaribu. Karena Sumatera Utara tidak memiliki perusahaan penerbit – sekelas Madju atau Hasmar dulu – mau tak mau sastrawan harus menerbitkan karyanya di Jakarta.
Jika perusahaan penerbitan di daerah baik, ada dua keuntungan yang diperoleh. Pertama, membuka peluang kerja. Perusahaan ini tentu mempekerjakan putra daerah, sehingga mengurangi pengangguran di daerah. Kedua, peluang untuk menerbitkan karya-karya putra daerah lebih besar dibandingkan jika bergantung pada penerbit Jawa. Sebab, penerbit Jawa cenderung menerbitkan karya sastra sastrawan Jawa atau karya sastrawan daerah yang telah menetap di Jakarta.
Pemerintah bisa mengembangkan sastra dan bisnis penerbitan di daerah secara bersamaan. Dua kebijakan yang dapat ditempuh, adalah: pertama; mewajibkan sekolah-sekolah di Sumatera Utara menggunakan buku ajar terbitan Sumut. Kedua; materi buku ajar itu disusun oleh pengarang/ penulis lokal yang disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Kebijakan ini akan membuat produktivitas penulis lokal semakin tinggi. Selain itu, pelajar akan mengenal kebudayaan lokal, termasuk sastra daerah.
Kebudayaan suatu daerah kerap berbeda dengan kebudayaan daerah lain. Karya sastra daerah lazimnya mengeksplorasi kebudayaan lokal. Novel Merantau Ke Deli yang ditulis Buya Hamka sangat populer dulu.  Novel ini mengangkat budaya Minang dengan latar Tanah Deli (SumateraUtara). Novel ini dicetak dalam bentuk buku pada tahun 1941 oleh penerbit Cerdas Medan.
Sarana kedua yang mendukung pengembangan sastra adalah media massa. Meski setiap daerah terdapat media massa lokal – cetak dan elektronik – tetapi penguasaan isu tetap dipegang media massa Jawa. Dalam konteks kebudayaan, masyarakat daerah cenderung mengikuti budaya yang ditawarkan di media massa. Contoh sederhana, pernyiar radio di Medan bersiaran dengan gaya bicara orang Jakarta. Padahal logat bicara orang Medan khas dan tidak sama dengan daerah lain. Karena, gaya bicara orang Jakarta dinilai bagus dan berkelas.
Khusus media penyiaran – radio dan televisi – saat ini dikuasai perusahaan media Jakarta. Seluruh televisi di Indonesia saat ini dimiliki oleh perusahaan Jakarta. Seluruh program siaran cenderung menguatkan budaya Jakarta. Hal yang sama terjadi pada media radio. Saat ini perusahaan radio Jakarta telah membuka jaringan di daerah, terutama kota besar. Agar bisa bersaing, mau tidak mau radio local menerapkan konsep dan meniru program radio Jakarta, termasuk gaya siaran dengan logat Jakarta.
Media massa mempunyai kekuatan membentuk pola pikir audience. Saat ini banyak karya sastra yang diangkat ke layar kaca. Hal ini mampu membentuk pola pikir pemirsa bahwa karya sastra yang difilm-kan adalah karya sastra yang baik. Hingga kini tidak ada karya sastrawan Sumut yang diangkat ke layar kaca. Kondisi mengokohkan pendapat masyarakat bahwa karya putra daerah tidak berkualitas. Walau koran lokal acapkali mengulas karya sastrawan daerah tetapi gaungnya tetap kalah.
Jika pemerintah tegas pada aturan televisi harus memuat program lokal maka peluang menayangkan karya sastrawan daerah terbuka lebar. Malangnya, hingga kini kebijakan itu tidak berjalan. Komisi Penyiaran Daerah Sumatera Utara – komisi yang berwenang mengawasi siaran – tidak bertindak.
Untuk meruntuhkan hegemoni Jawa terhadap sastra daerah, tidak bisa dikerjakan sendiri oleh sastrawan. Pemerintah daerah, Komisi Penyiaran Daerah Sumatera Utara dituntut punya komitmen membangkitkan sastra daerah. Mengingat tahapan Pilkada Sumut sedang berjalan, maka kita perlu mencari Gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara serius memperhatikan dunia sastra. Dari semua itu, tentu yang paling penting sastrawan harus produktif berkarya. Sastrawan harus mampu menghasil karya yang memenuhi nilai estetika dalam sasta. (tulisan ini telah dimuat di harian Medan Bisnis)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar