Meruntuhkan
Hegemoni Jakarta Dalam Dunia Sastra
Oleh
: Muhammad Hidayat
Penyiar
Radio Sindo di Medan
Keyword : sastra
Desakan menentang dominasi Jakarta terhadap
sastra daerah kian mengemuka. Hal ini mencuat setelah sejumlah sastrawan
mendeklarasikan Gerakan Sastra Sumatera Merdeka di Taman Budaya Medan baru-baru
ini. Sebenarnya topic diskusi ini merupakan permasalahan lama yang tak kunjung
usai.
Selama 32 tahun lebih, sastrawan daerah memang
berada dalam hegemoni sastra Jawa. Hal ini sebenarnya bukan terjadi hanya di
dunia sastra, tetapi juga dalam dunia kesenian secara umum. Hal itu tidak
berubah walau rezim Orde Baru telah tumbang. Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan kata sastra Jawa untuk menunjuk karya sastra yang diterbitkan di pulau
Jawa.
Ada yang berpendapat kemandegan sastra daerah
itu karena kualitas karya sastra putra daerah tidak berkualitas. Tidak memenuhi
nilai estetika yang dituntut dalam dunia sastra. Pendek kata, jika ingin
bangkit maka sastrawan daerah harus mampu menciptakan karya sastra yang
berkualitas.
Memang, sebuah karya sastra akan menarik jika memiliki
unsur estetis. Tetapi mengutamakan nilai estetika saja, juga tidak tepat.
Sebab, karya sastra bisa popular jika ditopang infrastruktur yang baik. Kalau
menyerahkan hal ini kepada sastrawan tentulah bukan hal bijak. Sebab, sastrawan
tidak memiliki kewenangan untuk menyediakan hal itu.
Tanggung
Jawab Negara
Dalam teori pembentukan negara, pemerintah
adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh warganya mengelola harta publik
untuk kepentingan publik. Pemerintah wajib menyediakan sarana yang mendukung
kebutuhan hidup warganya, termasuk sarana pengembangan sastra. Persoalannya,
pemerintah daerah tidak serius menyiapkan kebutuhan sastrawan. Dua hal penting
untuk mengembangkan sastra daerah, yaitu perusahaan penerbitan dan media massa.
Saat ini, kalangan sastrawan sangat bergantung
kepada penerbit Jawa untuk mempublikasikan karyanya. Tidak sedikit sastrawan
memilih hijrah ke Jakarta. Beberapa bulan lalu, Pustaka Al-Kautsar menerbitkan
novel Pincalang karya sastrawan Sumut Idris Pasaribu. Karena Sumatera Utara
tidak memiliki perusahaan penerbit – sekelas Madju atau Hasmar dulu – mau tak
mau sastrawan harus menerbitkan karyanya di Jakarta.
Jika perusahaan penerbitan di daerah baik, ada
dua keuntungan yang diperoleh. Pertama, membuka peluang kerja.
Perusahaan ini tentu mempekerjakan putra daerah, sehingga mengurangi
pengangguran di daerah. Kedua, peluang untuk menerbitkan karya-karya
putra daerah lebih besar dibandingkan jika bergantung pada penerbit Jawa.
Sebab, penerbit Jawa cenderung menerbitkan karya sastra sastrawan Jawa atau
karya sastrawan daerah yang telah menetap di Jakarta.
Pemerintah bisa mengembangkan sastra dan
bisnis penerbitan di daerah secara bersamaan. Dua kebijakan yang dapat
ditempuh, adalah: pertama; mewajibkan sekolah-sekolah di Sumatera Utara
menggunakan buku ajar terbitan Sumut. Kedua; materi buku ajar itu
disusun oleh pengarang/ penulis lokal yang disesuaikan dengan kebudayaan
setempat. Kebijakan ini akan membuat produktivitas penulis lokal semakin
tinggi. Selain itu, pelajar akan mengenal kebudayaan lokal, termasuk sastra
daerah.
Kebudayaan suatu daerah kerap berbeda dengan
kebudayaan daerah lain. Karya sastra daerah lazimnya mengeksplorasi kebudayaan
lokal. Novel Merantau Ke Deli yang ditulis Buya Hamka sangat populer dulu. Novel ini mengangkat budaya Minang dengan
latar Tanah Deli (SumateraUtara). Novel ini dicetak dalam bentuk buku pada
tahun 1941 oleh penerbit Cerdas Medan.
Sarana kedua yang mendukung pengembangan
sastra adalah media massa. Meski setiap daerah terdapat media massa lokal –
cetak dan elektronik – tetapi penguasaan isu tetap dipegang media massa Jawa.
Dalam konteks kebudayaan, masyarakat daerah cenderung mengikuti budaya yang
ditawarkan di media massa. Contoh sederhana, pernyiar radio di Medan bersiaran
dengan gaya bicara orang Jakarta. Padahal logat bicara orang Medan khas dan
tidak sama dengan daerah lain. Karena, gaya bicara orang Jakarta dinilai bagus
dan berkelas.
Khusus media penyiaran – radio dan televisi –
saat ini dikuasai perusahaan media Jakarta. Seluruh televisi di Indonesia saat
ini dimiliki oleh perusahaan Jakarta. Seluruh program siaran cenderung
menguatkan budaya Jakarta. Hal yang sama terjadi pada media radio. Saat ini
perusahaan radio Jakarta telah membuka jaringan di daerah, terutama kota besar.
Agar bisa bersaing, mau tidak mau radio local menerapkan konsep dan meniru
program radio Jakarta, termasuk gaya siaran dengan logat Jakarta.
Media massa mempunyai kekuatan membentuk pola
pikir audience. Saat ini banyak karya sastra yang diangkat ke layar kaca. Hal
ini mampu membentuk pola pikir pemirsa bahwa karya sastra yang difilm-kan
adalah karya sastra yang baik. Hingga kini tidak ada karya sastrawan Sumut yang
diangkat ke layar kaca. Kondisi mengokohkan pendapat masyarakat bahwa karya
putra daerah tidak berkualitas. Walau koran lokal acapkali mengulas karya
sastrawan daerah tetapi gaungnya tetap kalah.
Jika pemerintah tegas pada aturan televisi
harus memuat program lokal maka peluang menayangkan karya sastrawan daerah terbuka
lebar. Malangnya, hingga kini kebijakan itu tidak berjalan. Komisi Penyiaran
Daerah Sumatera Utara – komisi yang berwenang mengawasi siaran – tidak bertindak.
Untuk meruntuhkan hegemoni Jawa terhadap
sastra daerah, tidak bisa dikerjakan sendiri oleh sastrawan. Pemerintah daerah,
Komisi Penyiaran Daerah Sumatera Utara dituntut punya komitmen membangkitkan
sastra daerah. Mengingat tahapan Pilkada Sumut sedang berjalan, maka kita perlu
mencari Gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara serius memperhatikan dunia
sastra. Dari semua itu, tentu yang paling penting sastrawan harus produktif
berkarya. Sastrawan harus mampu menghasil karya yang memenuhi nilai estetika
dalam sasta. (tulisan ini telah dimuat di harian Medan Bisnis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar