Quran Itu Motivasi Hidup
Selalu
kita duduk tertegun, terkesima, dan sangat serius mendengar petuah
seorang motivator. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir motivator itu
tak boleh terlewatkan. begitulah seriusnya kita mencari motivasi hidup.
Sampai-sampai kita dengan rela hati mengeluarkan uang ratusan ribu
rupiah hanya untuk mendengar petuah-petuah sang motivator.
bukankah di lemari ada buku yang bisa memotivasi anda.
Buku itu datang dari Rabb kita. Rabb kita tidak pernah meminta bayaran
ketika buku itu kita baca. Apa yang kurang dari kitab itu? Di dalamnya
banyak motivasi hidup, yang lebih hebat dari kata-kata motivator itu,
karena motivasi itu datang langsung dari Pemilik Semesta Raya itu.
Motivasi itu datang dari Yang Maha Menghidupkan, Sang Pemberi Rezeki
yang menghidupi kita.
Memang kita butuh motivasi, untuk
menyemangati, supaya kita bisa lalui problema hidup dengan baik. Rezeki,
adalah satu dari sekian banyak problema hidup yang selalu kita
risaukan. Lalu kita butuh motivasi untuk menyelesaikan kerisauan itu.
Dan Allah telah memberi motivasi kepada kita.
Bukan Allah telah mengatakan "dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya".
Tidakkah ayat 6 surah Huud ini bisa membangkitkan semangat kita?
Bukankah ini kata-kata dari Tuhan kita..yang menghidupkan kita dan
mencukupi segala kebutuhan makhluqNya.
Rabu, 26 Februari 2014
Sabtu, 01 Februari 2014
USTAZD dan TELEVISI
USTAZD dan
TELEVISI
Oleh : Muhammad
Hidayat
Alumnus
Pascasarjana IAIN SU/ Dosen STIK "Pembangunan" Medan
Kita lazim mendengar orang berkata
"ustaz aja bilang boleh". Ada juga yang berujar "ustaz aja kayak
gitu". Ucapan itu biasanya digunakan untuk membenarkan suatu perbuatan
yang tidak lazim dilakukan masyarakat. Memang, ustaz adalah orang menguasai
ilmu-ilmu tentang keislaman. Biasanya, sang ustaz dikenal sebagai orang yang
taat menjalankan ajaran agama dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dengan ilmu
yang dimilikinya, ustaz menjadi penentu
sebuah perbuatan itu benar atau salah. Ustaz menjadi sumber rujukan masyarakat
dalam bertingkah laku.
Di awal tulisan ini, penulis memuat
dua ungkapan masyarakat untuk menunjukkan betapa pengaruhnya seorang ustaz.
Pada ungkapan pertama "ustaz aja bilag boleh" menunjukkan legalitas
perbuatan itu ditentukan dengan penyataan sang ustaz. Sementara pada pernyataan
kedua "ustaz aja kayak gitu" menunjukkan pembenaran perbuatan itu dari
prilaku ustaz. Kalau ustaz melakukan sesuatu berarti perbuatan itu boleh
dilakukan. Karena, masyarakat mengenal seoarang ustaz sebagai orang berilmu dan
taat menjalankan ajaran agama.
Dahulu, seorang ustaz lahir dari
tengah-tengah masyarakat melalui proses yang panjang. Biasanya, masyarakat
mengenal latar belakang keluarga, pendidikannya dan pergaulannya. Label ustaz
diberikan oleh masyarakat kepada orang yang dinilai pantas menerima gelar itu. Seorang bisa dibilang ustaz, kalau ia mampu
menjawab persoalan agama dan taat
menjalankan perintah agama. Jika masyarakat menilai hal itu tidak dimilikinya,
maka masyarakat akan menolaknya.
Penahbisan
Melalui Televisi
Kini, hal itu tidak berlaku lagi. Seseorang bisa saja muncul
menjadi seorang ustaz. Masyarakat tidak mengetahui kemampuan ilmunya, apalagi
mengetahui latar belakang keluarga dan pergaulannya. Label ustaz itu
ditahbiskan oleh televisi bukan masyarakat. Kalau televisi mengatakan seseorang
itu ustaz maka masyarakat juga
menerimanya sebagai ustaz. Fenomena itulah
yang terjadi saat ini.
Dalam teori komunikasi massa dikenal teori Agenda Setting. Kurt
Lang dan Gladys Enggel Lang (1959) menulis beberapa pokok pikiran tentang teori
ini. Mereka menyebutkan media massa memaksakan perhatian pada issu-issu tertentu.
Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang
hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam
masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Funkhoser. Pendapatnya didasarkan
penelitian tentang hubungan opini publik dengan isi media massa. Penelitian ini
menunjukkan isu-isu yang diberi peringkat tertinggi oleh publik adalah isu-isu
yang sering diliput oleh media massa.
Merujuk pada teori ini, penonton televisi akan mengukuhkan seseorang
menjadi ustaz jika orang tersebut ditampilkan berulang-ulang. Seseorang bisa
saja disulap menjadi ustaz walau ia tidak paham tentang ilmu agama. Caranya, ustaz
televisi itu menghafal mati materi yang akan disampaikan serta cara penyampaiannya.
Ustaz bersangkutan menghafal cara bertutur, kapan harus menggunakan nada
tinggi, rendah atau datar saja. Dengan demikian, penonton akan mempersepsi
ustaz televisi itu sangat paham dengan ilmu agama. Tidak lupa, ustaz televisi itu didandani
seperti ustaz kebanyakan. Untuk memudahkan ustaz bergaya, program siaran dibuat
dalam bentuk rekaman (recording) sehingga produser program bisa mengedit
kesalahan sebelum ditayangkan. Jika program itu disiarkan langsung (live) maka sesi
tanya jawab tidak dibuka. Hal ini dilakukan untuk mencegah penonton bertanya
diluar materi yang dihafal sang ustaz televisi itu.
Sebenarnya program agama Islam televisi memiliki efek positif
yaitu orang yang mengikuti acara lebih banyak dibandingkan pengajian tatap
muka. Masyarakat juga dimudahkan belajar, tanpa harus meninggalkan aktivitas di
rumah. Hal ini terjadi jika ustaz yang dihadirkan memang layak disebut ustaz.
Namun jika orang yang dijadikan ustaz tidak memenuhi kreteria ustaz, maka efek
negatif muncul yaitu penyimpangan dari
ajaran Islam.
Saat ini televisi cenderung menghadirkan ustaz bergaya pelawak. Hal
ini bisa mengaburkan topik yang dibincangkan. Bahkan lebih celaka, tausiah itu
disampaikan dalam program hiburan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Contohnya, "Ustaz" Maulana yang menyampaikan "tausiah" dalam
program YKS TransTV. Penulis menggunakan tanda kutip pada kata ustaz dan
tausiah sebagai penanda yang bersangkutan adalah ustaz bentukan televisi.
Materi tausiah yang disampaikan juga sesuai dengan ideologi televisi.
Contoh kasus pelanggaran syariat terjadi pada acara YKS 10
Desember 2013. Pemain wanita yang tampil memakai rok pendek.
Mereka juga "berangkulan" dengan pemain pria di hadapan sang
"ustaz". Padahal kedua hal itu dilarang dalam syariat Islam. Sementara
itu pada edisi 12 Desember 2013, kehadiran "ustaz" Maulana diiringi
dengan musik dan tarian seorang wanita. Setelah mengucapkan salam, seorang
pemain – Wendi – memanggil pemain dengan mengatakan "kok sepi".
Setelah itu musik pun mengalun. Muncullah wanita memakai rok sebatas lutut
menari-nari. Awalnya, wanita itu menari di belakang ustaz kemudian bergerak ke
depan. Saat menari, sang "ustaz" melihat wanita itu sambil bertepuk
tangan. Jika "ustaz" Maulana menyadari fungsi seorang dai, ia pasti
tahu kehadirannya akan melegitimasi segala perbuatan yang terjadi dalam acara
itu.
Selain hal di atas, ustaz pelawak membuat kewibawaan seorang ustaz
akan memudar. Hal itu juga dapat dilihat dalam acara YKS. Sesuai format acara
yang penuh humor, maka para pemain sepanjang acara melawak terkecuali saat "ustaz" memberikan tausiah. Pada edisi
10 Desember 2013, Wendi tiba-tiba muncul bergaya seorang ustaz. Ia tampil dengan baju koko dan selempang serta
memakai peci hitam. Tidak ketinggalan anting-anting menempel di kedua belah
kupingnya. "Ustaz" Maulana lalu mendekatinya. Ia berkata posisi peci
akan menentukan status sosial orang yang memakainya. Lalu ia pun memutar-mutar
peci di atas kepala Wendi sembari menyebutkan fungsi sosialnya. Terakhir kali
Wendi yang merubah letak peci sembari menyebutkan posisi itu seperti Si Unyil.
Selepas itu, Wendi memainkan sal. Ia mengubah-ubah letak sal di
tubuhnya sembari menyebutkan fungsi sosialnya. Selesai itu Olga tampil ke depan
meminta "ustaz" Maulana melakonkan hal yang sama. Aksi ini mengundang
gelak tawa penonton. Kita mengetahui peci dan sal merupakan simbol seorang
ustaz. Ketika simbol sosial itu dipermainkan maka fungsi sosial yang timbul
dari simbol itu akan telecehkan. Apalagi hal itu dilakukan seorang yang
ditokohkan sebagai ustaz. Kondisi ini
diperparah lagi sikap sang "ustaz" yang ikut tertawa-tawa. Apakah
"ustaz" Maulana menyadari ini atau tidak?
Pertimbangan stasiun televisi
membuat sebuah program adalah rating. Apabila program itu mengundang banyak
penonton maka akan dibuat. Kalau rating tinggi maka sponsor pun akan masuk.
Stasiun televisi tidak peduli apakah program itu melanggar nilai budaya,
apalagi norma agama. Acara YKS sebenarnya menimbulkan kritik dari pemerhati
media dan tokoh agama. Acara ini kerap menampilkan goyangan sensual.
Kehadiran "ustaz" Maulana pada program itu seolah
melegalkan semua tayangan pornografi yang ada dalam acara itu. Apalagi ia
mengeluarkan komentar bahwa dirinya sangat suka menonton acara YKS karena
membuat acara itu membuat keluarga berkumpul. Apakah ukuran acara bagus dari
sisi agama hanya karena bisa mengumpulkan keluarga? Apakah pelanggaran syariat
bisa diabaikan jika program itu bisa
mengumpulkan anggota keluarga? Tentu komentar ini tidak layak disampaikan
seorang pendakwah yang mengajak kepada jalan Allah.
Peringatan
Rasulullah
Jauh sebelum peristiwa ini,
Rasulullah telah mengingatkan umat agar hati-hati dengan penceramah yang
bermunculan. Dari Abu Dzar, bahwasannya Rosulullah bersabda :
Sesungguhnya kalian sekarang ada pada zaman yang banyak ulama (ahli ilmu)nya
dan sedikit khutoba' (penceramah)nya, barangsiapa yang meninggalkan
sepersepuluh dari yang ia ketahui maka dia telah tersesat. Dan akan datang
suatu zaman ketika itu banyak khutoba' (penceramah)nya dan sedikit ulama(ahli
ilmu)nya, barangsiapa diantara mereka berpegang pada sepersepuluh agamanya maka
dia telah selamat. (HR. Imam Ahmad).
Merujuk dari
hadits ini, nabi membedakan antara penceramah dengan ulama. Siapakah ulama itu?
Ibnu
'Abbas ra menafsirkan ulama dengan "orang yang mengenal Allah dari
hamba-hamba-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya,
mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, menjaga dan yakin bahwa Allah akan
menjumpainya dan menghisab amal perbuatannya." Pendapat ini sesuai dengan firman Allah:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al- Fathir –
28).
Ketundukan
kepada Allah ditandai dengan menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan murka
Allah. Ulama juga istiqomah menjalankan beragam kebajikan yang membuat Allah
mencintainya. Imam Ath-Thabari berkata, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan
kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa Allah
Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan
yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah"
Namun
fenomena yang terlihat saat ini berbeda. Orang yang menceramahkan agama tidak
memiliki karakter ketundukan kepada Allah. Perbuatan mereka sebagai penyeru
Islam tidak menunjukkan sebagai orang yang takut terhadap Allah. Bahkan dalam
kegiatan berdakwah mereka mencampurnya dengan kemaksiatan. Mereka mengotori kemurnian ilmu agama dengan
buaian kemewahan duniawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengingatkan: “Barangsiapa mempelajari ilmu untuk mendapatkan tujuan dunia,
maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud
no: 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no: 252, Ibnu Hibban no: 89)
Melihat fenomena ini, seorang muslim
tidak menonton program televisi yang mencampur-adukkan tayangan dakwah dengan
acara hiburan yang penuh kemaksiatan. Umat Islam harus memilih penceramah yang
berkarakter ulama, yaitu konsisten menjaga diri dari kemaksiatan. Tak kalah
penting, umat Islam juga mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan
sanksi kepada televisi yang membuat program agama yang menyalahi syariat Islam. (Tulisan ini dimuat di Harian Waspada, Jumat 31 Jan 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)