Rabu, 11 Maret 2009

Distan Perluas Lahan Irigasi untuk Padi Hibrida

Distan Perluas Lahan Irigasi untuk Padi Hibrida

MedanBisnis (07-03-2009)– Medan
Dinas Pertanian (Distan) Sumut akan memperluas lahan sawah irigasi bagi pengembangan padi hibrida. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produksi padi hibrida yang lebih menguntungkan petani dibandingkan padi nonhibrida.“Perluasan lahan irigasi ini kami usahakan untuk padi hibrida,” ujar Plt Kepala Dinas Pertanian Sumut, Ardhi Kusno kepada wartawan, di ruang kerjanya, Jumat (6/3).

Menurut Ardhi, padi hibrida memiliki keungulan dibandingkan nonhibrida. Dari sisi produksi, untuk padi hibrida dapat digenjot hingga 9 ton hingga 12 ton per hektar, selain itu padi hibrida lebih tahan terhadap serangan hama, masa tanam lebih pendek dan memiliki rasa nasi lebih pulen.
“Kebutuhan akan bibit padi hibrida juga jauh lebih sedkit dibandingkan padi nonhibida. Sebab, untuk satu hektar lahan, hanya dibutuhkan 15 kg bibit padi hibrida, sedangkan untuk padi nonhibrida dibutuhkan 90 kg bibir per hektar,” jelasnya.

Di Sumut, lanjut Ardhi, dari 472.000 hektar lahan sawah di Sumut, 278.560 hektar diantaranya merupakan lahan sawah irigasi yang terdiri dari lahan irigasi teknis seluas 73.431 hektar, irigasi setengah teknis seluas 81,830 hektar, irigasi sederhana PU seluas 41.512 hektar dan irigasi non-PU 81.787 hektar.

Selain mengupayakan peruntukan lahan irigasi bagi padi hibrida, Distan Sumut juga kata dia, tengah mengambil langkah-langkah bagi pengembangan jaringan irigasi. Diantaranya pengembangan jaringan irigasi tingkat usaha tani seluas 4.449 hektar, jaringan irigasi desa 2.955 hektar, jaringan irigasi mikro 1.200 hektar dan perluasan sawah non-irigasi seluas 390 hektar. “Upaya peningkatan produksi melalui pengembangan irigasi ini dilakukan mengingat kita tidak dapat menggalakkan konversi lahan akibat perkembangan penduduk dan pembangunan infastruktur,” jelas Ardhi.

Meski demikian, lanjutnya, saat ini pihaknya sedang merangsang perluasan lahan sawah seluas 3.500 hektar. Menyinggung konversi lahan pertanian, ia mengungkapkan, Distan Sumut telah meminta Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut dan Dinas Kehutanan (Dishut) Sumut agar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumut menetapkan lahan pertanian saat ini menjadi daerah pertanian abadi Sumut.
“Lahan pertanian dan irigasi merupakan investasi jangka panjang. Sehinggga kita berharap tidak terjadi perubahan fungsi terhadap keduanya,” tutur Ardhi.(yuni naibaho)

Mesin Olah Sabut Kelapa Bantuan Pempropsu Rusak

Mesin Olah Sabut Kelapa Bantuan Pempropsu Rusak

MedanBisnis – Tanjungbalai (26-02-2009)
Bantuan mesin pengalohan sabut kelapa yang diberikan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu) melalui Dinas Perkebunan Sumut kepada sejumlah kelompok masyarakat di Desa Kapias Batu VIII Kecamatan Tanjungbalai Asahan sampai saat ini tidak berfungsi dan disinyalir rusak. Karena itu, bantuan senilai ratusan juta yang bersumber dari dana APBD Sumatera Utara (Sumut) Tahun Anggaran 2008 diminta segera diusut oleh aparat hukum.

Wakil Ketua Kelompok Tani dan Nelayan (KTNA) Asahan Syahren Manurung kepada wartawan, Selasa (24/2) mengatakan, tahun 2006 kelompok masyarakat di bawah binaan KTNA menerima bantuan mesin pengolahan sabut kelapa sebanyak dua unit. Bantuan tersebut diserahkan Kabid Produksi Dinas Perkebunan Sumut Washington Siregar.

Dikatakannya, untuk mengoperasionalkan mesin tersebut, mereka membangun gudang tempat pengolahan dengan dana mencapai puluhan juta rupiah. “Sayang, ketika mesin mulai dioperasikan tidak lagi berfungsi, dan kuat dugaan bahwa bantuan itu tidak lain mesin rusak/bekas,” jelasnya.

Mengetahui mesin tidak berfungsi, kelompok masyarakat kata Syahren langsung melaporkan kejadian itu kepada Washington Siregar dan selanjutnya minta dibawa ke Medan dengan catatan akan diganti dengan mesin yang lebih baik lagi. Namun, sampai saat ini mesin yang dijanjikan tersebutut tidak kunjung datang. “Masyarakat penerima bantuan bertambah kesal dan meminta aparat hukum mengusutnya,” tegasnya. (arsyad yus)

Pertumbuhan Kredit Perbankan Sumut 23,1 Persen

Pertumbuhan Kredit Perbankan Sumut 23,1 Persen
Medan, (Analisa)

Kabid Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Cabang Medan, Maurids H Damanik mengatakan pertumbuhan kredit perbankan di Sumut pada 2008 lalu mencapai 23,1 persen dari target 18 persen.
“Pertumbuhan tersebut sudah tergolong bagus dan diharapkan pada 2009, kredit bisa tumbuh minimal sebesar itu dalam kondisi likuiditas masih ketat ”, katanya menjawab pertanyaan Analisa di Medan, Senin (16/2)

Dia mengakui pada 2008 banyak pelaku usaha yang tidak menarik pinjamannya di bank meski sudah disetujui. “Hingga saat ini tercatat Rp11,03 triliun kredit yang belum ditarik”, katanya.
Tentang suku bunga pinjaman masih tinggi, Maurids melihat bank-bank juga sudah mulai menurunkan suku bunga, dalam upaya mendorong pengembangan sektor riil di daerah ini.
Dia mengatakan dalam kondisi ekonomi belum stabil perbankan melihat perkembangan pasar dalam menurunkan suku bunga.

Sementara itu, Yusra Area Sales Manager Bank Danamon yang ditanya di tempat terpisah mengatakan Danamon sudah menurunkan suku bunga pinjaman dari 17,5 persen menjadi 15,5 persen.

“Namun masih tergolong tinggi. Tingginya suku bunga, pelaku usaha juga berpikir untuk meminjam. Apalagi likuiditas sulit”, tambah Tio Lie Meng, yang juga Area Sales Manager.
Menyinggung tentang pertumbuhan kredit Danamon Yusra menyebutkan mencapai 25 % atau sebesar Rp67 triliun. “Total pendanaan 24 persen atau sebesar Rp88 triliun”, rincinya.(bay)

Tahun 2009: Economic Worries

Tahun 2009: Economic Worries
Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com

Manado Post (Jan 05, 2009)
STASIUN televisi CNN menutup kaleidoskop dunia 2008 yang disiarkan menjelang pukul 00.00 waktu New York 1 Januari 2009, dengan kalimat ini: “Economic worries in 2009”. Itu bukan ramalan lagi, karena sejak pertengahan 2008 krisis finansial telah merontokkan ekonomi AS, Eropa dan Asia Timur (kecuali Tiongkok). Para analis menyebutkan, paling cepat krisis ekonomi global akan (mulai) pulih pada 2010.

Indonesia beruntung karena mampu melewati tahun 2008 dengan selamat. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini di kisaran 6%, dengan kontribusi signifikan dari investasi swasta dan ekspor, diikuti pengeluaran pemerintah. Tahun 2009, investasi swasta dan ekspor sudah diprediksi akan anjlok, dan sebagai ‘imbangannya’ pemerintah meningkatkan belanja yang langsung dinikmati dan dirasakan rakyat.

Program social safety net, jaring pengaman sosial (JPS), seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkeskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan bantuan beras untuk keluarga miskin (Raskin) ditingkatkan jumlah dan sasarannya. Program ini ditunjang dengan rehabilitasi dan pembangunan irigasi pedesaan, kredit usaha rakyat (KUR), pengembangan UKM, dan subsidi pupuk.

Sementara di sisi moneter, pemerintah dan Bank Indonesia telah menurunkan sejumlah kebijakan yang membuat sistem perbankan nasional tetap kokoh dan dipercaya pasar. Langkah ini berhasil, dan kita sangat berharap perbankan nasional tetap kokoh, kuat, solid dan gemilang melewati krisis. Inilah modal Indonesia saat ini yang paling berharga dan paling mahal dibandingkan dengan krisis di tahun 1997-1998. Saat itu perbankan nasional ambruk, dan menjadi sumber utama malapetaka yang mengakibatkan pemerintah (negara) melakukan bailout sebesar Rp600 triliun.

Meski dengan social and economic capital yang jauh berbeda dan lebih solid dibandingkan kondisi tahun 1997-1998, tahun 2009 keadaan ekonomi nasional menurun dibandingkan tahun 2008. Produk-produk yang berorientasi ekspor akan turun, investasi swasta tidak bergairah. Sumber pertumbuhan dan pergerakan ekonomi nasional dominan bertumpu pada pengeluaran (belanja) pemerintah dan konsumsi rumah tangga (dan swasta). Dengan sumber itu, para ahli masih optimis (berharap) ekonomi nasional di tahun 2009 tumbuh 3-4%.

Kondisi itu masih jauh lebih baik dibanding Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan yang diperkirakan akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif di tahun 2009. TKI dari negara-negara itu sudah mulai dipulangkan pada triwulan IV 2008, dan pada 2009 gelombang pengangguran TKI dari negara-negara itu akan mencapai puncaknya. Jutaan TKI yang dipulangkan itu ‘berkolaborasi’ dengan puluhan juta orang yang menganggur dan kehilangan pekerjaan pada tahun ini.
Mereka menjadi beban serius, dan akan memicu berbagai persoalan sosial di tahun 2009. Mengingat 2009 merupakan ‘tahun politik’, para pengangguran itu dapat saja dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik jangka pendek, atau memperkeruh suasana menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Ini mengisyaratkan tensi, durasi, dan kualitas kejahatan di tahun 2009 diperkirakan akan naik.

Dengan pengelolaan dan manajemen yang terpadu, JPS dan momen pemilu dapat dipadukan menjadi ‘kanalisasi’ jutaan penganggur itu agar tidak terjadi ledakan sosial yang tidak diinginkan. Para pemimpin dan aparat keamanan di kota-kota sedang, besar, dan metropolitan, juga daerah-daerah yang penganggurannya banyak, mesti mewaspadai hal ini agar momentum pembangunan ekonomi-politik yang dicapai selama ini tidak terganggu.

Di Sulawesi Utara (Sulut) TKI yang dipulangkan mungkin tidak seberapa. Para pekerja di industri perikanan dan perkelapaan di Bitung diperkirakan akan mengalami pengurangan. Akhir tahun 2008 permintaan ekspor ikan dari Sulut sudah berkurang, dan kontrak-kontrak baru di 2009 belum banyak yang dilakukan. Dalam kondisi itu, sulit terjadi full employment di industri perikanan. Kondisi yang sama terjadi pada industri perkelapaan, jika permintaan luar negeri menurun sepanjang 2009.

Pengangguran di sektor formal dan perkotaan diperkirakan akan naik. Mereka akan lari ke sektor non formal, termasuk ke sektor pertanian. Karena itu, sebagaimana sudah teruji pada setiap krisis, sektor non formal di perkotaan dan sektor pertanian di pedesaan harus diperkuat karena kedua sektor inilah yang akan jadi penyelamat. Revitalisasi pertanian dan perikanan cakupan dan jangkauannya mesti diperluas agar mampu menjadi ‘penolong’ yang menyejahterahkan rakyat Sulut di tahun 2009. Sementara KUR dan program bantuan kepada UKM diharapkan lebih fokus dan tepat sasaran, dengan jangkauan dan cakupan yang juga lebih luas dibandingkan tahun 2008.

Penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit di Manado pada 11-15 Mei 2009 telah berkontribusi positif dan membuat ekonomi Sulut atraktif sepanjang 2008. ‘WOC effect’ telah membuat ekonomi Sulut di tahun 2008 diperkirakan tumbuh 7,89%. Jika tidak ada krisis, tahun 2009 diprediksi ekonomi Sulut akan tumbuh lebih dari 8%.

‘WOC effect’ masih akan membuat ekonomi Sulut bergairah dan bisa mempertahankan tingkat pertumbuhan yang dicapai pada 2008. Apalagi, sesudah WOC dan CTI Summit akan digelar Sail Bunaken, Agustus hingga September 2009. Di penghujung tahun ada ‘Lebaran and Natalan Effect’, sehingga sepanjang tahun ekonomi terus bergairah. Pemilu legislatif dan Pilpres yang akan digelar pertengahan hingga triwulan III tahun ini juga akan menggelontorkan ratusan miliar rupiah.

Dari semua faktor itu, ‘WOC effect’ yang paling fenomenal dan berpengaruh di tahun 2009. Delegasi lebih dari 150 negara dan 6 kepala negara akan hadir, plus sekitar 1.500 ilmuwan dari berbagai negara. Belum lagi peserta pameran dan pertunjukan seni-budaya. Ini sebuah keberuntungan ekonomi bagi Sulut. Pada krisis 1997-1998 Sulut diselamatkan oleh melonjaknya harga-harga komoditas unggulan (kopra, cengkih, pala, dan vanilla). Pada krisis 2008-2009, Sulut ditolong oleh ‘WOC effect’. Tanpa diduga sebelumnya, karena sesungguhnya WOC dan CTI Summit tidak dimaksudkan menangkal krisis ekonomi di Sulut, iven ini menjadi ‘penyelamat’ bagi ekonomi Sulut, di saat daerah-daerah lain di Indonesia ‘menangis’ dan bekerja dengan sangat keras harus mencari terobosan mengatasi atau keluar dari krisis.

Dalam jangka pendek, minimal hingga penghujung 2009, ‘WOC effect’ semestinya didayagunakan untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi Sulut yang dicapai pada 2008. Jika Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulut bersinergi positif dalam pelaksanaan semua program JPS dan APBN/APBD di daerah ini, tingkat pertumbuhan ekonomi 8% bukan mustahil dicapai. Dan bila semua stakeholder menerapkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang pro pasar (tidak menyulitkan dunia usaha), krisis ekonomi global tidak terlalu berpengaruh di Sulut.

Problem terberat di tahun 2009 adalah konsolidasi dan sinergitas internal pemerintah (Pemprov dan Pemkab/Pemkot), dan eksternal (dengan dunia usaha). Kepekaan dan respon terhadap krisis harus jadi prioritas sepanjang tahun, tidak bisa lengah atau abai dalam sehari pun. Kita berharap, tahun 2009 ini dimulai dengan membenahi dan memantapkan hal ini agar memberi minimal dua pesan dan kesan kuat kepada publik: (1) Para pemimpin di daerah kita menyadari sedang menghadapi krisis dan ingin keluar dari krisis. (2) Publik percaya karena melihat dan yakin para pemimpinnya tidak panik, melainkan sedang berusaha keras mencari terobosan di tengah krisis.

Terkait dengan hal ini, Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulut mestinya memantapkan sinergitas untuk mengambil manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya atas penyelenggaraan WOC dan CTI Summit. Baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Kita harus belajar dari pengalaman pelaksanaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007, yang sukses dari sisi penyelenggaraan, tetapi gagal mendayagunakan manfaat ekonomi bagi Indonesia dan Bali. Pemprov dan Pemkab/Pemkot dengan guidance pemerintah pusat mesti belajar dari kegagalan di Bali itu, dan mengambil manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya untuk kemajuan dan kemaslahatan masyarakat Sulut.

Dalam jangka pendek, manfaat ekonomi itu didayagunakan untuk membuat Sulut secara keseluruhan memiliki ‘imunitas’ terhadap krisis ekonomi global. Dalam jangka menengah, Sulut secara keseluruhan dapat menyusun berbagai iven pre and post WOC untuk mendapatkan kepastian dan jaminan keberlangsungan momentum kemajuan ekonomi yang dicapai saat WOC dan CTI Summit. Dan, dalam jangka panjang Sulut saatnya menyusun grand economic design yang prospektif bagi Indonesia dan daerah ini. Untuk kepentingan ini, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada perayaan Natal 25 Desember 2008 di Bumi Beringin yang menyebutkan “Manado (Sulut) Pintu Gerbang Indonesia di Asia Timur” menjadi titik awal yang baik.

Kita sungguh sangat berharap, kita semua, utamanya para pemimpin di daerah ini, tidak menyia-nyiakan peluang dan kesempatan itu. Yang sangat kita khawatirkan, agenda politik, Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009, membuat para pemimpin kita lupa dan abai, lalu menyia-nyiakan peluang dan kesempatan ini. Kalau ini terjadi, peringatan CNN: “economic worries in 2009” menjadi kenyataan juga di Sulut.

Tetapi saya yakin, para pemimpin di Sulut bukan kelas ‘politisi kacangan’ yang berorientasi cuma 5-10 tahun. Mereka adalah para pemimpin yang akan membuat sejarah, bervisi dan berwawasan jauh ke depan. Mereka adalah para pemimpin yang sangat ingin dan bertekad memanfaatkan peluang dan kesempatan ekonomi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang tadi untuk kepentingan Sulut, bahkan Indonesia untuk 200-300 tahun ke depan.***

Pentingnya Memacu Investasi Sektor Pertanian

Pentingnya Memacu Investasi Sektor Pertanian
Written by Indra
Thursday, 21 August 2008
brigten.or.id

Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.

Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya.

Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen.

Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003 dalam Irawan, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif (Irawan, 2004, dalam Irawan, 2006).

Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan.

Keragaan Persetujuan Investasi PMDN dan PMA
Perkembangan persetujuan PMDN di sektor primer selama periode 2002-2006 bergerak cukup fluktuatif dengan nilai rata-rata Rp. 4.336, 38 milyar per tahun dan rata-rata pertumbuhan sekitar 34,86 persen per tahun. Di sektor primer, sektor pertanian menyumbang rata-rata Rp. 3.554,48 milyar per tahun dengan pangsa rata-rata 76,80 persen per tahun dalam kegiatan tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Akan tetapi pangsa sektor pertanian terhadap total persetujuan PMDN masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya dengan rata-rata hanya 5,59 persen per tahun. Sementara itu, perkembangan persetujuan PMDN di sektor sekunder juga menunjukkan pergerakan yang fluktuatif dengan nilai rata-rata Rp. 45.125,74 milyar per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 78,86 persen per tahun.

Di sektor sekunder ini, kontribusi sektor industri hasil pertanian cukup signifikan dibandingkan sektor lainnya. Selama periode tersebut tercatat rata-rata persetujuan PMDN di sektor industri hasil pertanian sebesar Rp 10.294,06 milyar per tahun dengan pangsa rata-rata 31,91 persen per tahun. Sektor industri hasil pertanian juga memberikan kontribusi yang berarti terhadap total persetujuan PMDN dengan pangsa rata-rata 21,50 persen dari kegiatan industri makanan, industri karet dan plastik, dan industri barang dari kulit dan alas kaki. Pada periode 2002-2004 terlihat bahwa pergerakan persetujuan PMDN di sektor primer dan sektor sekunder cenderung mengalami penurunan cukup signifikan, namun mulai meningkat lagi dan mencapai pertumbuhan positif pada tahun 2005 dan 2006.

Pada periode 2002-2006 perkembangan persetujuan PMA memiliki tren yang tidak jauh berbeda dengan perkembangan persetujuan PMDN. Selama periode 2002-2006 persetujuan PMA di sektor primer tercatat rata-rata sebesar 719,08 juta US$ per tahun dengan tingkat pertumbuhan 42,11 persen per tahun. Sektor pertanian tercatat memberikan kontribusi di sektor primer dengan pangsa rata-rata sebesar 57,89 persen per tahun. Kendati demikian kontribusi sektor pertanian terhadap total persetujuan PMA masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya, yakni hanya sekitar 3,21 persen per tahun.

Sementara itu, perkembangan persetujuan PMA di sektor sekunder juga menunjukkan pergerakan yang fluktuatif dengan nilai rata-rata 5.925,88 juta US$ per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 15 persen per tahun. Pada sektor sekunder ini, kontribusi sektor industri hasil pertanian masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya. Selama periode tersebut tercatat rata-rata persetujuan PMA di sektor industri hasil pertanian sebesar 800,44 juta US$ per tahun dengan pangsa rata-rata 13,92 persen per tahun. Sektor industri hasil pertanian juga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total persetujuan PMA dengan pangsa rata-rata hanya 6,61 persen per tahun. Pada Lampiran 2 terlihat bahwa pada periode 2002-2004 pergerakan persetujuan PMA di sektor primer dan sektor sekunder cenderung mengalami penurunan cukup signifikan, namun mulai meningkat lagi dan mencapai pertumbuhan positif pada tahun 2005 dan 2006.


Keragaan Realisasi Investasi PMDN dan PMA
Perkembangan realisasi PMDN di sektor primer selama periode 2002-2006 bergerak fluktuatif sejalan dengan pergerakan persetujuan PMDN dengan nilai rata-rata Rp. 2.316,88 milyar per tahun dan tingkat realisasi rata-rata sekitar 48,33 persen per tahun. Sektor pertanian yang menyumbang persetujuan PMDN di sektor primer dengan pangsa rata-rata 76,80 persen per tahun hanya memiliki tingkat realisasi 35,41 persen. Sementara itu, perkembangan realisasi PMDN di sektor sekunder juga menunjukkan pergerakan yang fluktuatif dengan nilai rata-rata Rp. 12.159,9 milyar per tahun dengan tingkat realisasi rata-rata per tahun 41,6 persen per tahun. Di sektor sekunder ini, kontribusi sektor industri hasil pertanian memiliki tingkat realisasi rata-rata sekitar 40,10 persen per tahun pada periode 2002-2006.

Pada periode 2002-2006 perkembangan realisasi PMA di sektor primer tercatat rata-rata sebesar 321,02 juta US$ dengan tingkat realisasi rata-rata 53,43 persen per tahun. Sektor pertanian tercatat menyumbang rata-rata sebesar 202,7 juta US$ per tahun dengan pangsa rata-rata 57,36 persen per tahun dan tingkat realisasi rata-rata 69,80 persen per tahun. Sementara itu perkembangan realisasi PMA di sektor sekunder selama periode 2002-2006 tercatat sebesar 631,56 juta US$ per tahun dengan tingkat realisasi rata-rata sekitar 45,40 persen per tahun. Nilai realisasi sektor industri pertanian tercatat rata-rata sebesar 631,56 juta US$ dengan pangsa rata-rata 24,15 persen per tahun dan tingkat realisas rata-rata 77,90 persen per tahun.

Dinamika Penyerapan Tenaga Kerja PMDN dan PMA
Penyerapan tenaga kerja PMDN di sektor primer selama periode 2002-2006 tercatat rata-rata hampir 18.000 tenaga kerja per tahun dimana sektor pertanian menyumbang rata-rata 85,26 persen per tahun dari kegiatan tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Sektor pertanian yang menyumbang rata-rata 6,99 persen per tahun bagi total realisasi PMDN memiliki kontribusi yang berarti dengan menyumbang rata-rata 19,58 persen per tahun dalam penyerapan total tenaga kerja PMDN. Sementara itu penyerapan tenaga kerja PMDN di sektor sekunder tercatat rata-rata lebih dari 48.800 tenaga kerja per tahun dimana sektor industri hasil pertanian menyumbang rata-rata lebih dari 52 persen per tahun dari kegiatan industri makanan, industri tekstil, dan industri barang dari kulit dan alas kaki. Walaupun sektor industri pertanian hanya menyumbang sekitar 25 persen per tahun terhadap total realisasi PMDN namun kontribusi sektor industri hasil pertanian terhadap total penyerapan tenaga kerja PMDN tercatat rata-rata lebih dari 36 persen per tahun.

Selama periode 2002-2006 penyerapan tenaga kerja PMA di sektor primer tercatat rata-rata lebih dari 16.000 tenaga kerja per tahun dimana sektor pertanian berkontribusi rata-rata sekitar 75 persen per tahun dari kegiatan tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Kendati sektor pertanian hanya berkontribusi rata-rata kurang dari 4 persen per tahun bagi total realisasi PMA namun sektor ini mampu menyerap tenaga kerja rata-rata hampir 9 persen dari total penyerapan tenaga kerja PMA. Penyerapan tenaga kerja PMA di sektor primer tercatat rata-rata hampir 97.000 tenaga kerja per tahun dimana sektor industri hasil pertanian menyumbang rata-rata lebih dari 47 persen tenaga kerja per tahun dari kegiatan kegiatan industri makanan, industri tekstil, dan industri barang dari kulit dan alas kaki. Sektor industri hasil pertanian yang menyumbang rata-rata 11,92 persen per tahun bagi realisasi total nilai PMA mampu memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja lebih dari 33 persen per tahun dari total penterapan tenaga kerja PMA.

Penutup
Secara umum perkembangan investasi di Indonesia menunjukkan perubahan yang fluktuatif dimana pada periode 2002-2004 pergerakan inflasi cenderung menurun namun mulai meningkat kembali dan mencapai pertumbuhan positif pada tahun 2005 dan 2006. Kondisi ini tentunya amat dipengaruhi oleh kebijakan penanaman modal dan ekonomi yang berlaku pada setiap periode tersebut. Pangsa investasi sektor pertanian di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan beberapa sektor lainnya, padahal investasi di sektor ini telah mampu men-generate jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan dibandingkan sektor lainnya. Artinya investasi sektor ini terbukti mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru khususnya di wilayah perdesaan. Dengan terciptanya lapangan perkerjaan ini diharapkan selain mampu menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru juga mampu mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang selama ini melekat di wilayah perdesaan.

Dalam pertemuan G-33 di Jakarta bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa sektor pertanian sangat penting bagi strategi pembangunan Indonesia, karena sektor tersebut tidak hanya mempengaruhi pendapatan masyarakat Indonesia. Sektor tersebut tidak hanya mempengaruhi pendapatan masyarakat pedesaan dan sumber penghidupan bagi sekitar 25 juta petani, tetapi juga menentukan kelangsungan hidup bagi 50 persen masyarakat miskin Indonesia. Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian.

Pelaku Agrobisnis Tingkat Dunia Kurang

Pelaku Agrobisnis Tingkat Dunia Kurang
UKM Terus Terpinggirkan

Sabtu, 28 Februari 2009
Jakarta, Kompas - Era globalisasi menuntut persaingan usaha sektor pertanian mulai dari hulu hingga hilir. Padahal, hingga saat ini, pelaku usaha agrobisnis berskala menengah dan besar di Indonesia masih sangat minim.

Oleh karena itu, menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, harus ditumbuhkan generasi pengusaha yang mampu mengembangkan potensi pertanian. Mentan menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers, Jumat (27/2) di Jakarta, terkait dengan rencana penyelenggaraan Agrinex EXPO 2009, 12-14 Maret.

Dijelaskan, peluang produk pertanian Indonesia memasuki pasar internasional sangat besar. Produk primer perkebunan Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi, sudah menembus pasar dunia. Banyak pengusaha besar yang menanamkan modal di perkebunan.

Selain perkebunan, potensi Indonesia juga relatif besar di subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan. Akan tetapi, di subsektor-subsektor tersebut belum banyak pengusaha besar yang berminat mengembangkan investasinya di sana.

Hal itu, menurut Anton, karena belum ada dukungan yang optimal dari perbankan. ”Aturan bank yang ada justru membuat susah sektor pertanian untuk berkembang,” katanya.

Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Adi Sasono mengharapkan, Indonesia menjadi ”pemain penting” sektor pertanian di tingkat regional.

Indonesia memiliki potensi besar masuk ke pasar regional, antara lain melalui pengembangan bahan bakar nabati dan pengembangan produk pertanian organik.

”Pengembangan industri tanaman pangan dan hortikultura bisa difokuskan ke sana,” tutur Adi.

Pengembangan agrobisnis di Indonesia, kata Adi, bukan hanya butuh dukungan perbankan, tetapi juga infrastruktur dasar, seperti jalan, irigasi, listrik, dan kemudahan berinvestasi.

”Selain, insentif pemerintah dan dorongan kebijakan makro,” katanya.

Pasar tradisional menyusut

Adi Sasono menyoroti adanya arah kebijakan yang tidak mendukung berkembangnya usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk UKM pertanian. Ini tampak dari semakin berkurangnya pasar tradisional karena tergusur pasar modern. Pasar tradisional setiap tahun menyusut 8 persen, sementara pasar modern tumbuh 30 persen.

Padahal, hubungan sosial-psikologi dan ekonomi antara pasar tradisional dan UKM sangat erat. Sebagian besar pro- duk yang diperdagangkan di pasar tradisional dihasilkan UKM, sehingga matinya pasar tradisional mematikan industri kecil yang memasok ke pasar tradisional.

”Sementara, kerja sama bisnis dengan pasar modern tidak tercipta. Pasar modern menetapkan berbagai syarat yang menyulitkan industri kecil sehingga masuklah industri makanan-minuman besar asing ke pasar domestik,” ujarnya. (MAS)

Meski Naik, Pendapatan Petani Masih Minus

Meski Naik, Pendapatan Petani Masih Minus

MedanBisnis (04-03-2009)Medan
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara (Sumut) mencatat indeks yang diterima petani (It) di Sumut naik sebesar 1,70%, yakni dari 114,66 pada Desember 2008 menjadi 116,61 pada Januari 2008. Begitupun, kenaikan It yang menggambarkan pendapatan petani tersebut belum mampu menutupi biaya produksi dan kebutuhannya. Terbukti, Nilai Tukar Petani (NTP) Januari hanya 97,92.

Kepala Bidang Integrasi Pengolahan dan Duseminasi Statistik BPS Sumut Panusunan Siregar menyebutkan, NTP yang masih di bawah 100 tersebut disebabkan indeks yang dibayar petani (Ib) masih lebih tinggi dibandingkan It. “Ib Januari sebesar 119,09 sementara It hanya 116,61. Dengan perhitungan yang dilakukan BPS, petani di Sumut masih minus,” jelasnya.

Disebutkannya, Ib Januari 2009 mengalami kenaikan sebesar 0,50% jika dibandingkan Ib Desember 2008 sebesar 118,49. Kenaikan Ib, kata dia, terjadi pada subsektor tanaman pangan sebesar 0,69%, subsektor hortikultura sebesar 0,77%, dan subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 0,35%.
“Sementara kenaikan It terjadi pada subsektor tanaman rakyat dan subsektor tanaman pangan. Sedangkan tiga subsektor lainnya mengalami penurunan,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, kondisi NTP di bawah 100 menggambarkan petani masih belum sejahtera. Di sisi lain, katanya, kondisi ini memperlihatkan kenaikan harga kebutuhan petani, masih lebih besar dibandingkan pendapatan yang diterima petani.
“Bahkan, tidak sedikit pula harga komoditas yang dihasilkan petani turun beberapa waktu terakhir ini. Jika kondisi ini berlanjut dan harga kebutuhan petani terus naik, maka defisit petani akan menjadi lebih besar,” terangnya.

Untuk itu, katanya lagi, pemerintah perlu menyiapkan skema yang baik untuk pengembangan komoditas pertanian dan bisa menjaga stabilisasi harga di pasar. “Harga komoditas pertanian harus diperhatikan, di samping menjaga harga produk yang dihasilkan pabrikan,” tambahnya. (herman saleh)

Subsidi Pertanian hanya untuk Negara Berkembang

Subsidi Pertanian hanya untuk Negara Berkembang


MedanBisnis (04-03-2009) Jakarta
Pemberian subsidi kepada petani seharusnya hanya dilakukan oleh negara berkembang yang sebagian besar petani dalam kondisi miskin.“Yang masih butuh subsidi itu petani di negara berkembang, petani di negara maju seharusnya tidak ada subsidi lagi,” kata Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono usai berbicara dalam Forum Ekonomi Islam Dunia (5th World Islamic Economic Forum-WIEF) di Jakarta, Selasa (3/3).

Anton menambahkan, sebagian besar petani di negara berkembang dalam kondisi miskin sehingga mereka membutuhkan subsidi untuk produksi serta jaminan harga produk yang bagus.
Deputi Menteri Urusan Luar Negeri Afrika Selatan, Fatima Hajaig mengatakan subsidi pertanian yang diberikan pemerintah Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) dan Jepang telah merugikan negara berkembang. “Karena subsidi di AS, UE, dan Jepang produk kita tidak bisa masuk ke pasar mereka sedangkan produk mereka bisa masuk ke pasar kami dengan harga yang murah,” ujarnya.

Ia berharap perundingan Putaran Doha bisa segera diselesaikan dan menciptakan sistem perdagangan dunia yang adil sehingga mendukung pembangunan di negara berkembang dan negara belum berkembang. “Kami berharap kesepakatan Putaran Doha khususnya terkait produk pertanian dibuat untuk tujuan terbentuknya sistem perdagangan yang adil,” ujarnya.

Senada dengan Fatima, Deputy Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kazakstan, Yedil Mamytbekov menilai jalan keluar untuk masalah ketahanan pangan adalah adanya sistem perdagangan dunia yang memegang prinsip keadilan serta kemanusiaan.
Menurut dia, pasar produk pangan dunia telah berubah karena industrialisasi pertanian. Para pedagang kreditor dan petani bekerja sama untuk membentuk usaha pertanian berskala besar dan mempengaruhi keseimbangan produksi dan kebutuhan serta ikut menentukan keseimbangan harga dunia.

Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal International Food Policy Research Institute Amerika Serikat, Joachim von Braun mengatakan, kebijakan subsidi yang dilakukan oleh negara maju telah menyumbang sekitar 30% dari pembentukan harga komoditi dunia.
Menurut dia, subsidi biodiesel dan etanol yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa bisa mengancam ketahanan pangan masyarakat miskin dunia. “Pengurangan subsidi tampaknya cukup mengecewakan karena prosesnya lambat meski tetap terjadi,” ujarnya.

Ia berharap, pemerintah negara maju melakukan perubahan kebijakan subsidinya sehingga bisa mendukung ketahanan pangan dunia.(ant)

Waspadai, Indikator Krisis Mulai Melanda Indonesia

Waspadai, Indikator Krisis Mulai Melanda Indonesia
Rabu, 4 Maret 2009

Jakarta, Kompas - Indikator krisis keuangan global mulai melanda Indonesia sehingga patut diwaspadai oleh semua pihak. Selain anjloknya ekspor, lonjakan impor pun harus mulai dijaga agar defisit neraca perdagangan bisa dihindari.

Ekspor Januari 2009 turun 17,7 persen dibandingkan dengan ekspor Desember 2008. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Selasa (3/3), mengatakan, ”Cadangan devisa juga harus diwaspadai karena bisa juga tergerus dari banyaknya industri jasa yang makin dikuasai asing, seperti jasa asuransi, perbankan, dan pelayaran.”

Kepala Divisi Perencanaan dan Pemasaran PT Toyota Astra Motor Widyawati mengatakan, indikator krisis dapat dilihat dari tren ekspor mobil.

Bulan Januari 2009, ekspor Toyota tercatat 3.952 unit atau turun dibandingkan dengan Januari 2008 yang mencapai 5.341 unit. Adapun ekspor pada Desember 2008 sebesar 4.550 unit.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total penjualan mobil pada Januari 2009 hanya 31.634 unit atau turun dibandingkan dengan Desember 2008 yang mencapai 39.651 unit. Bahkan, penjualan pada Januari 2008 mencapai 41.377 unit.

Waspadai impor

Namun, tren penurunan ekspor tidak terjadi pada industri keramik. Meski perkembangan nilai ekspor sangat fluktuatif, impor pun perlu diwaspadai agar industri domestik tetap tumbuh.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaya mengatakan, ”Impor patutlah diwaspadai, karena lonjakan impor ubin, sanitaryware dan tableware terus terjadi. Langkah yang perlu dilakukan adalah mendorong penggunaan produk dalam negeri, terutama dalam program penyediaan rumah bersubsidi.”

Asaki mencatat, nilai ekspor jenis ubin tahun 2006 mencapai 110,18 juta dollar AS, tahun 2007 sebesar 96,49 juta dollar AS, dan tahun 2008 sebesar 100,36 juta dollar AS.

Menurut Widjaya, industri keramik masih bisa mempertahankan pasar sekunder, seperti Benua Australia, Asia, Italia, dan Spanyol. (OSA)

Sulawesi Tenggara : Keseimbangan Politik Darat dan Kepulauan

Sulawesi Tenggara : Keseimbangan Politik Darat dan Kepulauan
Rabu, 25 Februari 2009 | 00:23 WIB

Jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra) terbagi atas dua kawasan yang, meskipun berbeda identitas kultur dan budayanya, selalu menjaga keharmonisan dalam keseimbangan kekuasaan. Keduanya adalah wilayah daratan yang berada di kaki kanan bagian bawah Pulau Sulawesi serta wilayah kepulauan yang terserak di sekitarnya.

Wilayah daratan dan kepulauan Sultra didiami empat kelompok suku dominan, yaitu Tolaki, Muna, Buton, dan Moronene. Suku Tolaki yang jumlahnya diperkirakan sekitar 16 persen (termasuk di dalamnya subetnis Mekongga) serta suku Moronene adalah suku-suku asli yang lebih banyak tinggal di daratan. Suku ini tersebar di Kolaka, Kolaka Utara, Kota Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Bombana.

Sementara itu, suku asli kepulauan adalah suku Muna dan Buton. Etnis ini banyak menghuni wilayah Muna, Buton, Buton Utara, Kota Bau-Bau, Wakatobi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sedangkan kaum pendatang yang umumnya etnis Jawa, Tionghoa, Minang, Bali, dan lain-lain banyak menetap di pesisir barat Sultra, Kota Kendari, serta sebagian wilayah kepulauan. Selain itu, ada suku Bugis yang banyak berdiam di Kabupaten Kolaka dan Bajau yang banyak bermukim di Muna.

Meski terdapat empat kelompok suku dominan di provinsi ini, namun Tolaki dan Buton bisa dibilang dua suku yang paling menonjol. Pada masa lalu, kedua suku tersebut diidentikkan dengan dua kerajaan besar yang pernah ada di sini.

Kerajaan Wolio berdiri di Buton sekitar abad ke-13. Beberapa wilayah bawahan yang dikuasai, yakni Kerajaan Muna di Pulau Muna, Kerajaan Kamaru di Buton Timur, dan Kerajaan Tobe-tobe di Buton Barat. Pada abad ke-16, dengan dijadikannya Islam sebagai agama bagi seluruh warga masyarakat Buton, bentuk pemerintahan berubah menjadi kesultanan yang lalu mampu bertahan hingga empat abad lamanya.

Kerajaan besar lain adalah Konawe, yang berpusat di Unaaha, Kabupaten Konawe saat ini. Kerajaan Konawe yang berdiri pada abad ke-15 sanggup mempertahankan kekuasaannya hingga akhir abad ke-19, sebelum digantikan oleh Kerajaan Laiwoi yang didukung Pemerintah Hindia Belanda.

Kedua suku tersebut kerap menjadi poros dalam pergerakan dan perubahan sosial politik di ”Bumi Anoa” itu. Baik suku Tolaki maupun Buton (dan Muna) menjadi pertimbangan khusus dalam setiap pembagian kue politik di Sultra. Keseimbangan porsi kekuasaan antarsuku adalah prinsip yang biasa menjadi acuan dalam mendukung sebuah kepemimpinan. ”Selama ini tidak ada gesekan yang berarti di antara kedua suku dominan di Sultra itu. Masing-masing bisa berkembang, baik dalam hal politik maupun dalam ekonomi. Bahkan, terkadang kepemimpinan dipegang secara bergilir, tidak didominasi oleh satu etnis,” ungkap Nasrudin Suyuti, Kepala Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. (Palupi Panca Astuti)

Peta Politik Sulawesi Tenggara

Peta Politik
Sulawesi Tenggara : Menepikan Monoloyalitas dengan Kekuatan Figur
Oleh : PALUPI PANCA ASTUTI

Rabu, 25 Februari 2009

Kekuatan figur elite menjadi ciri dari politik Sulawesi Tenggara jika dibandingkan dengan daerah lain. Sejak pemilu pertama, kekuatan figur politik telah mampu bersaing dengan sejumlah partai politik besar berskala nasional. Akankah figur calon anggota legislatif menjadi penarik utama dalam perhelatan Pemilu 2009?

Sosok figur menjadi penentu yang sangat mewarnai perimbangan politik pada Pemilu 1955. Selain Masyumi, nyaris tidak ada partai politik lain, baik nasional maupun lokal, yang cukup kuat. Bahkan, PNI yang di level nasional menjadi pemenang, di Sultra hanya mampu meraih 8 persen suara. Sebaliknya, dukungan yang cukup besar justru diberikan pemilih kepada calon perseorangan dari tokoh setempat.

Calon perseorangan La Ode Ida Effendi dan La Ode Hadi masing-masing berhasil menduduki nomor dua dan tiga dengan jumlah dukungan 23 persen dan 17 persen. Selain mereka, terdapat beberapa nama peserta perseorangan. Jika dijumlahkan, dukungan yang diberikan untuk seluruh calon perseorangan mencapai 41 persen, sama dengan suara yang diraih Masyumi.

Sayangnya, kekuatan calon perseorangan ini kemudian amblas dalam pemilu-pemilu berikutnya yang tidak lagi mengadopsi calon perseorangan maupun partai lokal.

Pada Pemilu 1971, kekuatan rezim pemerintahan baru lewat Golkar langsung hadir menjadi pemenang mutlak dengan meraih 93 persen suara. Kemudian, selama periode tahun 1971- 1992 ketika Provinsi Sultra masih terbagi dalam empat kabupaten, yakni Kendari, Muna, Buton, dan Kolaka, suara untuk Golkar tak pernah kurang dari 90 persen. Bahkan, setelah Kabupaten Kendari memekarkan diri menjadi Kotamadya Kendari pada tahun 1997, dominasi Golkar tetap tidak terpatahkan.

Golkar juga masih dominan dalam pemilu demokratis yang digelar pada tahun 1999. Pada saat anjloknya suara Golkar di tingkat nasional dan naiknya pamor PDI-P, Sultra tetap menjadi basis Golkar yang kuat. Selain mampu meraih total suara 63 persen, partai berlambang beringin ini juga kukuh di setiap kabupaten/kota. PDI-P di urutan kedua hanya mampu mengumpulkan suara kurang dari 14 persen.

Suara Golkar hanya dapat digerogoti secara drastis justru oleh tumbuhnya partai-partai kelas menengah pada Pemilu 2004. Partai-partai seperti PPP, PNBK, PAN, PBB, PKB, PKS, dan Demokrat menjadi penahan kembalinya kejayaan Golkar. Tumbuhnya partai-partai menengah ini juga memangkas eksistensi PDI-P dan menempatkannya sejajar dengan mereka. Bahkan, PPP mampu merebut posisi kedua, yang pada pemilu sebelumnya diduduki oleh PDI-P.

Tampaknya ada kecenderungan sebagian pemilih tradisional di Sultra kembali berpaling kepada partai bercorak Islam. Selain PPP, PAN adalah salah satu partai berbasis agama yang berhasil meraup perolehan suara cukup berimbang dengan PDI-P, yakni sekitar tujuh persen. Di luar itu, penetrasi partai berbasis massa Islam lainnya, seperti PKS, PBB, dan PKB, juga cukup memberi pengaruh pada penurunan Partai Golkar. Tak dapat dimungkiri, partai kelas menengah inilah yang pada akhirnya menjadi kekuatan tandingan dalam arena- arena kontestasi lokal.

Dampak penguasaan oleh partai-partai menengah adalah berkurangnya penguasaan Partai Golkar di level kabupaten/kota. Pada Pemilu 2004, Golkar tidak seratus persen berhasil ”menguningkan” Sultra. Kota Bau-Bau, wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton, seakan membelot dari Golkar dengan memenangkan PBB, partai baru yang bernuansa keagamaan. Perolehan Golkar saat itu 11.595 suara, kalah dari PBB yang mengumpulkan 13.278 suara.

Penurunan suara Golkar di Buton sebenarnya sudah mulai terdeteksi sejak pemilihan anggota legislatif tahun 1999. Pemilu di Buton saat itu diikuti sebanyak 218.564 pemilih. Hasilnya, Golkar hanya mampu mendulang 53 persen dari total pemilih. Hasil itu sangat jauh jika dibandingkan dengan perolehan suara pada Pemilu 1997. Kala itu, Buton berhasil ”dikuningkan” dengan kemenangan mutlak Golkar yang meraih 99,5 persen suara. Namun, gegap gempita reformasi rupanya kemudian mampu menurunkan pesona Golkar. Tidak hanya di Buton, tetapi juga di wilayah lain.

Saat Pemilu 2004 berlangsung, Kabupaten Buton sudah mekar menjadi dua kabupaten, yakni Buton dan Wakatobi, ditambah Kota Bau-Bau. Meski Buton dan Wakatobi ”masih setia” memenangkan Partai Golkar yang nasionalis—dengan perolehan suara yang terus merosot—Kota Bau- Bau justru menentang arus dengan memenangkan partai bercorak Islam. Kota yang dulunya menjadi pusat Kerajaan dan Kesultanan Buton itu seperti mengisyaratkan keinginan untuk kembali mengentalkan nuansa agama di wilayah tersebut.

Kekuatan figur

Ketepatan memilih calon oleh partai akan menentukan kemenangan sang calon. Hal ini berlaku dalam pemilihan kepala daerah di Sultra. Kunci utama memenangkan pilihan rakyat dalam pilkada adalah faktor kedekatan sang tokoh kepada konstituen. Selain kedekatan atas dasar kesamaan suku, klan, atau profesi, pendekatan secara personal seorang tokoh kepada masyarakat adalah faktor yang mampu mendorong masyarakat memberikan pilihannya.

Isyarat untuk lebih memerhatikan faktor figur dalam memenangkan hati masyarakat terungkap pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sultra beberapa waktu lalu. Saat itu Kabupaten Muna yang merupakan asal etnis Muna lebih memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Nur Alam-Saleh Lasata (etnis Tolaki dan Muna). Padahal, terdapat calon gubernur lainnya yang berasal dari etnis Muna, yaitu Mahmud Hamundu yang diusung oleh PPP dan PDI-P.

Kemenangan pasangan Alam- Lasata yang diusung PAN dan PBR ini sekaligus menguburkan impian Golkar untuk menyandingkan ”jagoannya” dalam pemilihan gubernur, yakni pasangan Ali Mazi dan Abdul Samad. Ali Mazi, pejabat bertahan (incumbent) yang berasal dari etnis Buton, hanya mendapat dukungan kuat di wilayah Buton, Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari.

Prinsip yang sama tentang ketokohan terjadi juga pada pilkada bupati dan wali kota. Jika pada pemilu anggota legislatif, Partai Golkar masih bisa unjuk gigi di hampir seluruh wilayah, hal yang berbeda terjadi pada pilkada di kabupaten dan kota. Sejak pilkada pertama digulirkan tahun 2005, Golkar hanya berhasil menang di tiga kabupaten, satu di antaranya berkoalisi dengan partai lain.

Pada pemilihan bupati di Kabupaten Muna, pasangan yang diusung secara tunggal oleh Partai Golkar mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan perolehan suara 51 persen. Bupati terpilih saat itu, Ridwan Bae, adalah bupati Muna pada periode sebelumnya. Kemenangan Ridwan, selain didukung oleh faktor primordial karena ia berasal dari etnis Muna, juga didukung oleh ketokohan dan pendekatan yang dilakukannya, yang dianggap cukup mengena di hati masyarakat.

Wilayah kepulauan lain yang dimenangkan pasangan kepala daerah dari Golkar adalah Kabupaten Buton. Seperti di Muna, pemenang pilkada Bupati Buton adalah juga bupati sebelumnya. Di wilayah ini, Golkar harus berkoalisi dengan PAN yang menjadi wakil bupati. Semakin mengendurnya kekuasaan partai pohon beringin yang terlihat dari hasil pemilu di Buton membuat Golkar kurang percaya diri untuk mengusung calon-calonnya sendiri.

Di wilayah daratan, satu-satunya pilkada yang bisa dimenangkan oleh Partai Golkar adalah Kabupaten Bombana. Meski tidak menang mutlak atas 3 pasang lawannya, pasangan calon dari Golkar berhasil meraih suara terbanyak di wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton tersebut.

Menurut Peribadi, pemerhati masalah sosial politik dari Universitas Haluoleo Kendari, meski dukungan atas Golkar terlihat semakin menurun, setidaknya ada dua alasan mengapa partai ini masih bisa menguasai pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah di Sultra.

”Ditinjau dari segi partai politik, kemenangan Golkar di wilayah-wilayah itu lebih karena ia adalah partai tua yang sudah dikenal baik pemilih tradisional maupun rasional. Selain itu, tokoh dan pemimpin Golkar di situ kebanyakan adalah juga tokoh- tokoh masyarakat,” ungkap Peribadi.

Menjelang pemilu anggota legislatif pada April mendatang, Sultra akan menjadi ajang uji kesetiaan pemilih terhadap Partai Golkar. ”Besar dugaan, Golkar akan masih memiliki prospek pada Pemilu 2009 ini. Selain karena pemilih Sultra belum banyak berubah, juga karena Ketua DPW Golkar yang terpilih menggantikan Ali Mazi cukup populer dan berkinerja tinggi,” kata Peribadi.

Apakah dengan demikian Golkar akan mampu bertahan atau meningkatkan suara? Tentu hal ini akan sangat bergantung pada kekuatan sosok dari calon-calon yang diusung partai lain. Perimbangan kekuatan juga bisa muncul dari kemahiran mesin politik untuk merebut simpati konstituen. Peribadi mencontohkan, munculnya Partai Gerindra yang melakukan pendekatan tepat dan personal kepada masyarakat bisa mengancam tergerusnya suara partai-partai lama, salah satunya Golkar. (Palupi Panca Astuti/ Litbang Kompas)

Peta Politik Sulawesi Barat

Peta Politik
Sulawesi Barat
Cermin Politik dalam Dua Masa
Selasa, 24 Februari 2009

Sugihandari

Rekam jejak kekuatan politik yang kurang memberikan manfaat menjadi bumerang di Sulawesi Barat. Loyalitas terhadap patron politik yang sebelumnya terbangun kokoh bukan tidak mungkin beralih.

Secara historis, Sulawesi Barat (Sulbar) dikenal sebagai wilayah bermukimnya orang Mandar. Memang, Mandar merupakan etnis mayoritas yang mendiami wilayah ini. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik di lima kabupaten yang kemudian membentuk Provinsi Sulbar, separuh bagian penduduk Sulbar beretnis Mandar.

Meski demikian, Sulbar saat ini tidak hanya dipenuhi oleh penduduk beretnis Mandar. Sebanyak 14 persen penduduk beretnis Toraja dan 10 persen Bugis juga bermukim di wilayah ini. Sisanya, kelompok suku bangsa lain. Dengan proporsi sebesar itu, Mandar tampak menonjol. Bahkan, kerap kali wilayah provinsi termuda di Indonesia ini diidentikkan dengan kewilayahan Mandar sejak berabad yang lalu.

Namun, dinamika politik yang terpetakan saat ini di Sulbar tak bisa dilepaskan dari Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai provinsi induknya. Sebelum mengalami pemekaran wilayah menjadi provinsi sendiri pada tahun 2004, Sulbar direpresentasikan oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang menjadi Polewali Mandar dan kabupaten pemekaran Mamasa), Majene, dan Mamuju (sekarang Mamuju dan kabupaten pemekaran Mamuju Utara). Seperti juga peta politik Sulsel, Sulbar yang kental dengan identitas budaya itu berhasil ”dikuningkan” Golkar.

Loyalitas mutlak

Kemunculan perdana Golkar pada Pemilu 1971 termasuk fantastis. Perolehan suara yang berhasil dikantongi mencapai tiga perempat bagian dari total suara. Partai-partai politik lain, terlebih partai bercorak keagamaan, bertumbangan. Dengan proporsi kemenangan mutlak tersebut, pola-pola kemenangan partai dan kelompok yang merujuk pada identitas keagamaan pada Pemilu 1955 tergeser. Sebagaimana yang terjadi pada pemilu pertama ini, di wilayah Sulbar yang masa itu disebut Mandar—mengacu pada afdeling Mandar bentukan pemerintah kolonial Belanda—peserta pemilu yang berpaham agamalah yang berkibar. Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan representasi partai bercorak keislaman, mampu mendominasi perolehan suara hingga dua pertiga bagian. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pun mampu meraih posisi kedua dengan 15,7 persen suara. Partai-partai bercorak nasionalis, sosialis, ataupun komunis tidak banyak berpengaruh di wilayah ini.

Pemilu 1977 semakin mengentalkan penguasaan partai berlambang pohon beringin ini. Kali ini 84 persen suara teraih. Demikian pula, empat kali penyelenggaraan pemilu berikutnya pundi-pundi Golkar selalu terisi penuh, di atas 90 persen. Bahkan, pada pemilu terakhir di masa kekuasaan rezim Orde Baru (1997) partai pemerintah ini menang dengan 95 persen suara! PPP yang merupakan representasi partai-partai bercorak keislaman yang pernah menguasai Sulbar dalam kurun waktu tersebut menjadi minoritas, di bawah 5 persen. Terlebih PDI, yang hanya mampu membukukan 1 persen suara saja.

Kemenangan Golkar, di samping kekuatan rezim Orde Baru yang menyertainya, tidak lepas dari kemampuan partai ini dalam meramu ideologi ”pembangunan” yang dikenalkannya untuk menggantikan kuatnya politik aliran dan kuatnya identitas yang membelah masyarakat wilayah ini. Di satu sisi, wilayah Sulbar yang terikat dalam wilayah konfederasi Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan yang terletak di kawasan pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di kawasan pegunungan) itu terhuni oleh tiga suku bangsa besar, Mandar, Toraja, dan Bugis.

Pada sisi lain, suku-suku bangsa menganut keyakinan beragama yang berbeda pula, yaitu Islam yang dianut mayoritas etnis Mandar dan Bugis dan Kristen bagi mereka yang mayoritas beretnis Toraja. Hal ini pula yang membuat partai-partai bercorak keislaman, seperti Masyumi, NU, dan bercorak kekristenan, seperti Parkindo, tampil menjadi pemenang di tahun 1955.

Perubahan patron

Titik balik muncul seiring perubahan besar yang bertajuk reformasi terjadi di negeri ini. Kebebasan sikap politik masyarakat kembali memperoleh ruang. Kemenangan memang masih menemani Partai Golkar pada Pemilu 1999 dan 2004. Namun, prestasinya merosot. Dari perolehan sebelumnya di atas 90 persen, hasil Pemilu 1999 membukukan 61 persen. Angka ini semakin menyusut pada Pemilu 2004, hanya mampu meraih 44,7 persen suara. Penyusutan dukungan terhadap Golkar otomatis memberi peluang bagi partai lain. Pada pemilu pertama pascareformasi, PDI Perjuangan (PDI-P) merebut posisi kedua yang sebelumnya selalu ditempati PPP. Hanya di Kabupaten Majene PPP mampu mempertahankan posisi. Namun, timbangan kembali bergerak. Dukungan terhadap PDI-P dan PPP pun kembali terkikis di tahun 2004, tergantikan oleh Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bagi Partai Golkar, ajang kontestasi politik lokal dalam pilkada yang berlangsung tahun 2005-2008 juga tidak memberi cermin yang indah. Dari lima pemilihan bupati dan satu pemilihan gubernur, pasangan yang diusung Partai Golkar hanya unggul pada pemilihan gubernur Sulbar dan pemilihan bupati Mamasa. Di Mamuju Utara, pasangan dari PDI-P yang menjadi juara. Sisanya, yaitu di Mamuju, Majene, dan Polewali Mandar, dimenangkan pasangan dari koalisi parpol. Dengan menggabungkan hasil kontestasi politik nasional 2004 dan berbagai hasil pilkada, tampak benar bahwa kekuatan partai ini memasuki masa rawan, sejalan dengan luputnya penguasaan wilayah di daerah yang sebelum-sebelumnya dikuasai.

Persoalannya kini, jika pengaruh Partai Golkar mulai terkikis, sementara partai-partai yang mewariskan corak keagamaan, baik Islam maupun Kristen, tidak juga mampu menggantikan penguasaan politik, konfigurasi politik apa yang terjadi dalam pemilu mendatang?

Becermin pada ajang pilkada lalu, tampak benar bahwa mesin politik parpol bukanlah satu-satunya penyokong kemenangan. Popularitas tokoh sering kali justru menentukan ke mana pilihan dijatuhkan. Dalam hal ini, kualitas dan rekam jejak selama ini menjadi acuan derajat popularitas tokoh-tokoh yang bersaing dalam kontestasi lokal. Di sisi lain, bagi masyarakat Sulbar, selain kualitas serta rekam jejak pemimpin selama ini, ikatan etnisitas dan kekerabatan masih kental. Faktor-faktor semacam ini secara langsung memberi celah bagi peranan patron sebagai pengarah opini publik yang potensial di ranah politik.

Bagaimanapun, posisi patron tidak sama di semua wilayah Sulbar. Di daerah pesisir, misalnya, dengan karakter masyarakat yang cenderung terbuka dan dinamis membentuk dan membutuhkan patron-patron politik yang cenderung bersifat rasional dan kadang pragmatis. Mereka yang memiliki sifat kepemimpinan dan terbukti berjasa pada masyarakat potensial menjadi patron masyarakat. Di sisi lain, bagi masyarakat pegunungan, posisi tokoh adat dan agama sebagai patron komunitas tampak tergolong kuat. Dengan kondisi semacam ini, kepiawaian meramu strategi penguasaan politik yang berbasis pada identitas di dua wilayah yang berbeda kultur politik ini bisa jadi menjadi faktor penentu dalam ajang kontestasi politik Pemilu 2009. (Sugihandari/ Litbang Kompas)

Politik Orang Pintar

Politik Orang Pintar

Selasa, 24 Februari 2009

Kisah unik Ponari dengan batu ajaibnya menjadi perhatian. Bukan hanya di kalangan warga yang mengantre, katanya, sampai 2 kilometer, karena ingin sembuh dari sakitnya. Tetapi, tidak kurang dari Setyo Mulyadi alias Kak Seto dari Komnas Anak, sosiolog Imam Prasodjo, dan berbagai kalangan lain memberikan perhatian khusus kepada sosok Ponari dan masalah yang ditimbulkannya. Berbekal batu—katanya—ajaib, Ponari dianggap ”anak bertuah”.

Orang pintar dianggap bertuah karena mempunyai kelebihan di bidang supranatural atau berilmu. (Tentu saja mereka ini bukan para profesor atau orang yang pandai lainnya). Orang pintar itu istilah saja untuk tidak menyebut orang sakti. Namun, jangan salah, orang-orang semacam ini banyak jenisnya. Ada yang memang berilmu dan amanah. Tidak sedikit pula yang enggak beres, orang pintar tetapi mintari orang lain. Mereka biasa menjadi tempat bertanya. Namun, ada juga orang pintar yang malah mengambil peran menjadi tempat bertanya para elite politik. Hal seperti itu bukan rahasia lagi.

Peran orang pintar di berbagai bidang kehidupan sepertinya sudah merupakan bagian budaya bangsa kita. Dunia bisnis, perjodohan, peruntungan, dan pekerjaan tak lepas dari pengaruh orang pintar. Persekongkolan antara dunia politik dan orang pintar di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Kalau ada tokoh politik atau pemimpin bangsa yang kemudian terkenal, biasanya disertai dengan kasak-kusuk, siapa orang pintar di belakangnya.

Boleh percaya atau tidak, jauh sebelum mesin politik berjalan dalam setiap pemilu di Indonesia, yang pertama kali bergerak itu adalah orang-orang pintar itu. Para elite politik akan mendatanginya untuk meminta berkah atau restu. Bahkan para calon biasanya tidak mengandalkan seorang orang pintar saja. Demikian pula sebaliknya orang pintar terkemuka tidak mengelus jago seorang calon saja. Sesudah ada restu dari orang pintar tersebut barulah mesin politik berjalan.

Apabila seorang tokoh terkenal datang kepada orang pintar, biasanya titip pesan jangan diketahui oleh masyarakat sekitar. Tentu saja jawabnya, ”Rahasia dijamin!” Tetapi, orang seputar orang pintar berbisik-bisik akan datang tamu terkenal sehingga sekampung itu mengetahuinya. Kedatangan tamu terkenal itu akan mengangkat status orang pintar tersebut. Itulah sebabnya seorang tokoh terkenal (pemimpin) biasanya dikenal siapa orang pintarnya. Tanpa orang pintar, seorang caleg akan mudah dikerjain oleh lawan mereka. Misalnya, seseorang yang berniat kampanye simpati saat berpidato tiba-tiba saja saat manggung dia maunya buang angin melulu. Ini bisa kejadian lho.

Nah, jadi pertarungan politik dalam pemilu ataupun pemilihan lain harus dibayangkan pula mungkin terjadi pula ”perang gaib”, pertarungan di dunia tidak nyata antarorang pintar di belakang tokoh politik. Cuma saja memang jarang terdengar ada tokoh politik yang gagal mengajukan komplain atau menuntut orang pintarnya. Wah, kalau begitu, bisa tambah rame pengadilan.

Kembali kepada Ponari. Anak yang ditunggu bahkan dikejar-kejar ribuan orang setiap harinya mungkin tidak berpikir bahwa pengaruh dia amat dahsyat. Bahkan konon di Jombang sana air isotonik Pocari harus bekerja keras untuk melawan khasiat air batu Ponari. Belum lagi di internet muncul minuman kaleng bermerek Ponari Sweat.

Andaikan Ponari dewasa dan mencalegkan diri, tentu tidak usah kampanye dan pasang baliho atau poster di mana-mana. Dia pasti akan terpilih. Tetapi, bukan tidak mungkin pula, sejumlah caleg sudah mengirim orangnya untuk meminta air celupan batu Ponari.

Sebenarnya yang kita harapkan dari caleg bukanlah seperti itu. Mereka harus melek mata melihat realitas fenomena Ponar. Obat dan rumah sakit mahal. Harga sembako melangit. Sekolah mahal. Kehidupan semakin sulit. Lapangan pekerjaan semakin menyusut dan pengangguran di mana-mana. Para caleg seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat. Bukan Ponari.

Empat Variasi Pasangan Diunggulkan

Pemilihan Presiden
Empat Variasi Pasangan Diunggulkan
Selasa, 24 Februari 2009

Jakarta, Kompas - Hasil jajak pendapat yang digelar Lembaga Riset Informasi Johanspolling pada 8-16 Februari 2009 menunjukkan bahwa ada empat variasi pasangan calon presiden/wakil presiden yang diunggulkan. Empat variasi pasangan itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono-Hidayat Nur Wahid, Jusuf Kalla-Hidayat Nur Wahid, serta Megawati Soekarnoputri-Sultan Hamengku Buwono X.

Hasil jajak pendapat itu diumumkan pimpinan Johanspolling, Johan O Silalahi, di Jakarta, Senin (23/2). Pengumuman itu dihadiri ahli komunikasi politik Effendi Ghazali, serta Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu dan Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul.

Dari jajak pendapat itu tercatat, jika Yudhoyono berpasangan dengan Kalla, dipilih oleh 37,7 persen responden. Jika Yudhoyono dengan Hidayat, raihan dukungannya hanya 36,9 persen.

Pasangan Kalla-Hidayat meraih 26,88 persen. Sebanyak 37,2 persen responden memilih Megawati-Sultan HB X. Ini berarti pasangan Yudhoyono-Kalla tetap diunggulkan.

Namun, Johan mengakui, riset itu dilakukan LRI sebelum Kalla menyatakan kesiapannya sebagai calon presiden (capres) dari Partai Golkar. Jika jajak pendapat itu dilakukan setelah Kalla menyatakan kesiapannya, diperkirakan hasilnya akan berbeda.

Effendi menilai tidak ada yang istimewa dari hasil jajak pendapat tersebut. Alasannya, momen besar kesiapan Kalla sebagai capres belum dipertimbangkan.

”Jajak pendapat yang mendekati adalah jika dilakukan menjelang pemilu legislatif. Karena, justru yang menentukan adalah pemilu legislatif. Sebab itu, harus diwaspadai jika hasil pemilu legislatif menunjukkan hasil riset selama ini berbeda,” ujarnya.

Menurut Johan, jajak pendapat itu dilakukan di 33 provinsi dengan menyebarkan kuesioner kepada 1.890 responden. Selain itu, juga dilakukan wawancara. Batas kesalahan adalah 2,23 persen dan tingkat kepercayaan riset adalah 95 persen. (har)

Yang Kecil Semakin Tersingkir

Yang Kecil Semakin Tersingkir
Rabu, 25 Februari 2009

Agung Setyahadi dan M Zaid Wahyudi

Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.

Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.

”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.

Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.

Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.

Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Politik rasional

Walau pola hidupnya masih tradisional dan dikategorikan pemerintah sebagai komunitas adat tertinggal, pola pikir masyarakat dalam berpolitik sangat rasional. Mereka hanya akan memilih peserta pemilu kepala daerah ataupun calon anggota legislatif dari partai yang sudah terbukti membangun Noaulu.

”Bukti dulu baru kami pilih. Kami tidak percaya dengan janji-janji kosong,” kata Marwai.

Hingga kini belum ada warga Noaulu yang menjadi anggota legislatif di berbagai tingkatan. Jumlah warga yang mengenyam pendidikan hingga SLTA saja sangat terbatas.

Pada Pemilu 2009, ada lima caleg dari suku Noaulu untuk pemilu DPRD Maluku Tengah. Meskipun demikian, identitas kesukuan itu bukan pertimbangan pilihan warga. ”Meskipun calon anggota legislatif itu dari Noaulu, tetapi tidak membangun, ya kita tinggal saja,” tambahnya.

Jika suku Noaulu masih gigih mempertahankan adat dan tradisi mereka, kondisi berbeda dialami suku Pagu di Kao, Halmahera Utara (Halut). Berbagai pranata dan lembaga adat sudah mulai hilang sejak masa Orde Baru akibat pembangunan yang mengabaikan keragaman dan kekhasan suku-suku Nusantara. Tradisi yang tersisa hanya proses pernikahan, sedangkan dalam berbahasa, warga lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Manado.

”Lemahnya lembaga adat membuat daya tawar masyarakat adat rendah saat menghadapi pihak luar,” kata Ketua Forum Adat Soa Pagu, Halut, Yantje Namotemo.

Ketua Lembaga Adat Hibualamo yang menaungi suku-suku di Halut, Zadrak Tongotongo, mengakui, dengan sistem multipartai dan penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak seperti saat ini, suara masyarakat adat akan semakin sulit disatukan. Dukungan masyarakat adat akan terpecah dan terbagi dalam beberapa calon. ”Hal ini akan membuat upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat semakin sulit,” katanya.

Sistem multipartai degan pendekatan kekeluargaan itu menyulitkan pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat memilih bukan didasarkan atas kualitas caleg, melainkan atas kedekatan hubungan keluarga.

Bagi Zadrak, meskipun tidak ada anggota DPR dari etnis-etnis yang ada di Halut, yaitu Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda dengan 10 subetnisnya, hal itu bukan masalah. Di panggung politik nasional keberadaan suku-suku itu nyaris tak terdengar, tetapi peran dan pengaruh mereka di Maluku Utara cukup diperhitungkan.

”Siapa pun anggota DPR yang mewakili Maluku Utara, mereka tak bisa hanya mengatasnamakan suku ataupun daerah tertentu. Mereka mewakili Malut secara keseluruhan,” katanya.

Walaupun jauh dari perhatian penentu kebijakan nasional dan terbatasnya akses mereka untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat Halut mampu membuktikan, mereka dapat hidup berdampingan serta saling menenggang rasa dalam keberagaman etnis, budaya, dan agama.

Peradaban Tidak Berjalan

Peradaban Tidak Berjalan
Sastra Dianggap Bukan Ilmu

JAKARTA, KOMPAS (Kamis, 26 Februari 2009) Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah perilaku masyarakat yang dengan ringannya melanggar kaidah-kaidah etis-normatif, tradisi, bahkan hukum formal. Kondisi ini salah satunya karena sastra kurang diperhatikan. Di sisi lain, sastra sampai sekarang gagal memberikan peradaban di Indonesia.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Sastra dan Pemberadaban” yang digelar Bale Sastra Kecapi, Kompas, dan Bentara Budaya Jakarta, Rabu (25/2) di BBJ.

Tiga narasumber yang hadir adalah pengamat sastra Jakob Sumardjo, sastrawan Putu Wijaya, dan sosiolog Tamrin Amal Tamagola.

Putu Wijaya menjelaskan, sastra Indonesia umumnya masih dikategorikan sebagai hanya kelangenan. Tidak digubris apalagi dianggap sebagai ilmu oleh para pemimpin dan intelektual. ”Jadi, kalau mereka buta sastra itu sah,” katanya.

Sastra Indonesia tanpa pembelaan ketika terdepak dari kurikulum. Ditolak oleh beberapa sekolah ketika ada kesempatan bertemu dengan sastrawan karena jam untuk kelas matematika masih kurang.

”Padahal, semua karya sastra adalah sebuah tesis, pengetahuan, bukan hiburan. Para sastrawan sebenarnya sudah memberikan sumbangan nyata pada pemberadaban di Indonesia. Namun, karena tidak adanya orang- orang yang menjembatani, tidak adanya kritikus sastra, sastra menjadi tidak hidup. Karena itu, sastra belum memberikan andil dalam proses pemberadaban,” ujarnya.

Menurut Putu Wijaya, kebangkitan sastra pada hakikatnya adalah kebangkitan masyarakatnya. Sastra yang unggul pun akan menjadi bisu bila masyarakatnya ”buta huruf”. Sementara itu, masyarakat yang tinggi apresiasinya akan mengumpan sastra menjadi bergelora menyumbang perkembangan adab manusia.

Jakob Sumardjo mengatakan, dalam sejarah kebudayaan Indonesia, peran sastra lisan maupun tulis sangat menonjol memperadabkan masyarakatnya.

Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang kaya raya yang membuktikan bangsa ini sebenarnya pencinta sastra. Namun, warisan sastra yang kaya raya ini tidak dipedulikan lagi oleh bangsa ini,” kata Jakob Sumardjo.

Sangat minim

Menurut Jakob Sumardjo, selama ini kita tidak mengenal diri kita sendiri. Dalam bidang sastra, pengetahuan dan pengalaman sastra keindonesiaan kita sangat minim.

Kita belum pernah membaca terjemahan dalam bahasa nasional kita, I La Galigo, yang ribuan halaman itu. Tidak ada terjemahan kakawin Bharatayudha, Arjuna Wiwaha, Mintorogo, Tambo Minangkabau, pantun Mundinglaya Dikusumah, bahkan penerbitan ulang hikayat-hikayat yang ratusan itu.

”Sastra adalah fiksi, gambaran, imajinasi simbolik dari yang dibutuhkan masyarakatnya sebagai panduan memperadabkan diri,” ujar Jakob menambahkan.

Menurut Tamrin Amal Tamagola, karya sastra yang bagus akan berpengaruh kalau masyarakatnya active reading. ”Karya sastra membantu kita mengenali diri sendiri, berefleksi secara mendalam, menyentuh manusia dan kemanusiaan. Karya sastra itu sebaiknya menyangkut kerisauan orang banyak,” ujar Tamrin Amal Tamagola. (NAL)

Peluang Investasi Pertanian

Peluang Investasi Pertanian

KOMPAS (March 29, 2008)
Pengamat ekonomi Chatib Basri mengatakan prospek bisnis di bidang pertanian saat ini menguntungkan terkait tren kenaikan harga komoditas pangan dunia yang masih terus berlangsung. Namun, menurutnya, diperlukan dukungan pemerintah dengan insentif berupa kemudahan investasi di bidang pertanian.

Sementara Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Alimoeso mengatakan peningkatan produksi komoditas pangan tidak bisa lagi mengandalkan intensifikasi yang bertumpu pada teknologi pertanian, tapi harus disertai ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian dengan menerapkan perlindungan lahan pertanian abadi.

Peluang Investasi di Pertanian Diperlukan Ekstensifikasi untuk Hadapi Ancaman Ketahanan Pangan Jakarta, Kompas - Tren kenaikan harga komoditas pangan di dunia diperkirakan masih terus berlangsung. Hal itu harus dilihat sebagai peluang untuk mendorong investasi di bidang pertanian. Selain itu, juga mendorong dilakukannya ekstensifikasi pertanian untuk menghadapi ancaman kekurangan pangan.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Chatib Basri, Rabu (26/3) di Jakarta, mengatakan, harga komoditas pangan yang tinggi sudah saatnya disikapi oleh investor dengan terjun di usaha pertanian karena prospek bisnisnya menguntungkan. ”Tren kenaikan harga pangan dunia kemungkinan masih terus berlangsung. Hal ini rangsangan bagi investor untuk terjun di usaha pertanian,” kata Chatib. Bertambahnya pelaku usaha di bidang pertanian akan membawa keuntungan yaitu berupa penurunan harga alat-alat produksi, seperti benih dan pupuk.

Oleh karena itu, kata Chatib, pemerintah perlu memberikan insentif berupa kemudahan iklim investasi di bidang pertanian. Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso menyatakan, upaya meningkatkan produksi komoditas pangan tidak bisa lagi mengandalkan intensifikasi yang bertumpu pada teknologi pertanian. Intensifikasi pertanian hanya efektif mencukupi kebutuhan beras selama tiga tahun mendatang.

Setelah itu, intensifikasi tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan yang tinggi karena jumlah penduduk meningkat. ”Tiga tahun lagi kita sudah harus mengupayakan perluasan lahan pertanian dengan menerapkan perlindungan lahan pertanian abadi. Kalau tidak, ketahanan pangan akan menghadapi masalah serius,” ungkap Sutarto.

Ekstensifikasi harus diimbangi dengan kontrol ketat terhadap alih fungsi lahan pertanian. Jika tidak, persoalan pangan, khususnya beras, akan semakin serius. Sebenarnya produktivitas per hektar tanaman padi di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan India, Pakistan, Vietnam, dan Thailand. Produktivitas padi Indonesia 4,7 ton per hektar, hanya kalah dari China yang mencapai 6-7 ton. Saat ini luas panen tanaman padi per tahun 12,5 juta hektar untuk 1-3 kali musim tanam setahun. Luas areal panen ini sulit berkembang.

Padahal, kebutuhan beras penduduk Indonesia tahun 2030 diperkirakan melonjak dari 32,96 juta ton (2007) menjadi 59 juta ton. Untuk menutupi kekurangan 26,04 juta ton beras itu diperlukan 11,8 juta hektar sawah. Luas sawah sekarang 11,6 juta hektar. Ancam eksporTidak berimbangnya harga beras dunia dengan harga gabah petani di dalam negeri membuat petani di Jawa Barat mengancam akan mengekspor berasnya. ”Jangan beralasan di balik ketahanan pangan gabah petani dibeli dengan harga murah,” kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Jawa Barat Rudi Gunawan.

Harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di Jabar saat ini Rp 1.700 per kilogram, dua pekan lalu Rp 2.000/kg. Berpatokan pada harga beras internasional sekitar 700 dollar/ton, atau Rp 5.000-Rp 6.000/kg, selayaknya harga gabah petani Indonesia minimal Rp 2.500-Rp 3.000/kg. Sementara itu, Pemprov Jateng mencairkan dana talangan Rp 50 miliar untuk membeli gabah petani, Rp 2.000/kg GKP, karena terlambatnya Satuan Tugas Perum Bulog Jateng membeli gabah petani. Kepala Humas Perum Bulog Divisi Regional Jateng Siti Farida mengakui, Bulog tak dapat segera membeli gabah petani karena harus menjaga mutu gabah sesuai ketentuan pemerintah. (LKT/MAS/CHE/WHO) Sumber: Kompas