Rabu, 11 Maret 2009

Tahun 2009: Economic Worries

Tahun 2009: Economic Worries
Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com

Manado Post (Jan 05, 2009)
STASIUN televisi CNN menutup kaleidoskop dunia 2008 yang disiarkan menjelang pukul 00.00 waktu New York 1 Januari 2009, dengan kalimat ini: “Economic worries in 2009”. Itu bukan ramalan lagi, karena sejak pertengahan 2008 krisis finansial telah merontokkan ekonomi AS, Eropa dan Asia Timur (kecuali Tiongkok). Para analis menyebutkan, paling cepat krisis ekonomi global akan (mulai) pulih pada 2010.

Indonesia beruntung karena mampu melewati tahun 2008 dengan selamat. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini di kisaran 6%, dengan kontribusi signifikan dari investasi swasta dan ekspor, diikuti pengeluaran pemerintah. Tahun 2009, investasi swasta dan ekspor sudah diprediksi akan anjlok, dan sebagai ‘imbangannya’ pemerintah meningkatkan belanja yang langsung dinikmati dan dirasakan rakyat.

Program social safety net, jaring pengaman sosial (JPS), seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkeskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan bantuan beras untuk keluarga miskin (Raskin) ditingkatkan jumlah dan sasarannya. Program ini ditunjang dengan rehabilitasi dan pembangunan irigasi pedesaan, kredit usaha rakyat (KUR), pengembangan UKM, dan subsidi pupuk.

Sementara di sisi moneter, pemerintah dan Bank Indonesia telah menurunkan sejumlah kebijakan yang membuat sistem perbankan nasional tetap kokoh dan dipercaya pasar. Langkah ini berhasil, dan kita sangat berharap perbankan nasional tetap kokoh, kuat, solid dan gemilang melewati krisis. Inilah modal Indonesia saat ini yang paling berharga dan paling mahal dibandingkan dengan krisis di tahun 1997-1998. Saat itu perbankan nasional ambruk, dan menjadi sumber utama malapetaka yang mengakibatkan pemerintah (negara) melakukan bailout sebesar Rp600 triliun.

Meski dengan social and economic capital yang jauh berbeda dan lebih solid dibandingkan kondisi tahun 1997-1998, tahun 2009 keadaan ekonomi nasional menurun dibandingkan tahun 2008. Produk-produk yang berorientasi ekspor akan turun, investasi swasta tidak bergairah. Sumber pertumbuhan dan pergerakan ekonomi nasional dominan bertumpu pada pengeluaran (belanja) pemerintah dan konsumsi rumah tangga (dan swasta). Dengan sumber itu, para ahli masih optimis (berharap) ekonomi nasional di tahun 2009 tumbuh 3-4%.

Kondisi itu masih jauh lebih baik dibanding Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan yang diperkirakan akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif di tahun 2009. TKI dari negara-negara itu sudah mulai dipulangkan pada triwulan IV 2008, dan pada 2009 gelombang pengangguran TKI dari negara-negara itu akan mencapai puncaknya. Jutaan TKI yang dipulangkan itu ‘berkolaborasi’ dengan puluhan juta orang yang menganggur dan kehilangan pekerjaan pada tahun ini.
Mereka menjadi beban serius, dan akan memicu berbagai persoalan sosial di tahun 2009. Mengingat 2009 merupakan ‘tahun politik’, para pengangguran itu dapat saja dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik jangka pendek, atau memperkeruh suasana menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Ini mengisyaratkan tensi, durasi, dan kualitas kejahatan di tahun 2009 diperkirakan akan naik.

Dengan pengelolaan dan manajemen yang terpadu, JPS dan momen pemilu dapat dipadukan menjadi ‘kanalisasi’ jutaan penganggur itu agar tidak terjadi ledakan sosial yang tidak diinginkan. Para pemimpin dan aparat keamanan di kota-kota sedang, besar, dan metropolitan, juga daerah-daerah yang penganggurannya banyak, mesti mewaspadai hal ini agar momentum pembangunan ekonomi-politik yang dicapai selama ini tidak terganggu.

Di Sulawesi Utara (Sulut) TKI yang dipulangkan mungkin tidak seberapa. Para pekerja di industri perikanan dan perkelapaan di Bitung diperkirakan akan mengalami pengurangan. Akhir tahun 2008 permintaan ekspor ikan dari Sulut sudah berkurang, dan kontrak-kontrak baru di 2009 belum banyak yang dilakukan. Dalam kondisi itu, sulit terjadi full employment di industri perikanan. Kondisi yang sama terjadi pada industri perkelapaan, jika permintaan luar negeri menurun sepanjang 2009.

Pengangguran di sektor formal dan perkotaan diperkirakan akan naik. Mereka akan lari ke sektor non formal, termasuk ke sektor pertanian. Karena itu, sebagaimana sudah teruji pada setiap krisis, sektor non formal di perkotaan dan sektor pertanian di pedesaan harus diperkuat karena kedua sektor inilah yang akan jadi penyelamat. Revitalisasi pertanian dan perikanan cakupan dan jangkauannya mesti diperluas agar mampu menjadi ‘penolong’ yang menyejahterahkan rakyat Sulut di tahun 2009. Sementara KUR dan program bantuan kepada UKM diharapkan lebih fokus dan tepat sasaran, dengan jangkauan dan cakupan yang juga lebih luas dibandingkan tahun 2008.

Penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit di Manado pada 11-15 Mei 2009 telah berkontribusi positif dan membuat ekonomi Sulut atraktif sepanjang 2008. ‘WOC effect’ telah membuat ekonomi Sulut di tahun 2008 diperkirakan tumbuh 7,89%. Jika tidak ada krisis, tahun 2009 diprediksi ekonomi Sulut akan tumbuh lebih dari 8%.

‘WOC effect’ masih akan membuat ekonomi Sulut bergairah dan bisa mempertahankan tingkat pertumbuhan yang dicapai pada 2008. Apalagi, sesudah WOC dan CTI Summit akan digelar Sail Bunaken, Agustus hingga September 2009. Di penghujung tahun ada ‘Lebaran and Natalan Effect’, sehingga sepanjang tahun ekonomi terus bergairah. Pemilu legislatif dan Pilpres yang akan digelar pertengahan hingga triwulan III tahun ini juga akan menggelontorkan ratusan miliar rupiah.

Dari semua faktor itu, ‘WOC effect’ yang paling fenomenal dan berpengaruh di tahun 2009. Delegasi lebih dari 150 negara dan 6 kepala negara akan hadir, plus sekitar 1.500 ilmuwan dari berbagai negara. Belum lagi peserta pameran dan pertunjukan seni-budaya. Ini sebuah keberuntungan ekonomi bagi Sulut. Pada krisis 1997-1998 Sulut diselamatkan oleh melonjaknya harga-harga komoditas unggulan (kopra, cengkih, pala, dan vanilla). Pada krisis 2008-2009, Sulut ditolong oleh ‘WOC effect’. Tanpa diduga sebelumnya, karena sesungguhnya WOC dan CTI Summit tidak dimaksudkan menangkal krisis ekonomi di Sulut, iven ini menjadi ‘penyelamat’ bagi ekonomi Sulut, di saat daerah-daerah lain di Indonesia ‘menangis’ dan bekerja dengan sangat keras harus mencari terobosan mengatasi atau keluar dari krisis.

Dalam jangka pendek, minimal hingga penghujung 2009, ‘WOC effect’ semestinya didayagunakan untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi Sulut yang dicapai pada 2008. Jika Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulut bersinergi positif dalam pelaksanaan semua program JPS dan APBN/APBD di daerah ini, tingkat pertumbuhan ekonomi 8% bukan mustahil dicapai. Dan bila semua stakeholder menerapkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang pro pasar (tidak menyulitkan dunia usaha), krisis ekonomi global tidak terlalu berpengaruh di Sulut.

Problem terberat di tahun 2009 adalah konsolidasi dan sinergitas internal pemerintah (Pemprov dan Pemkab/Pemkot), dan eksternal (dengan dunia usaha). Kepekaan dan respon terhadap krisis harus jadi prioritas sepanjang tahun, tidak bisa lengah atau abai dalam sehari pun. Kita berharap, tahun 2009 ini dimulai dengan membenahi dan memantapkan hal ini agar memberi minimal dua pesan dan kesan kuat kepada publik: (1) Para pemimpin di daerah kita menyadari sedang menghadapi krisis dan ingin keluar dari krisis. (2) Publik percaya karena melihat dan yakin para pemimpinnya tidak panik, melainkan sedang berusaha keras mencari terobosan di tengah krisis.

Terkait dengan hal ini, Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Sulut mestinya memantapkan sinergitas untuk mengambil manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya atas penyelenggaraan WOC dan CTI Summit. Baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Kita harus belajar dari pengalaman pelaksanaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007, yang sukses dari sisi penyelenggaraan, tetapi gagal mendayagunakan manfaat ekonomi bagi Indonesia dan Bali. Pemprov dan Pemkab/Pemkot dengan guidance pemerintah pusat mesti belajar dari kegagalan di Bali itu, dan mengambil manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya untuk kemajuan dan kemaslahatan masyarakat Sulut.

Dalam jangka pendek, manfaat ekonomi itu didayagunakan untuk membuat Sulut secara keseluruhan memiliki ‘imunitas’ terhadap krisis ekonomi global. Dalam jangka menengah, Sulut secara keseluruhan dapat menyusun berbagai iven pre and post WOC untuk mendapatkan kepastian dan jaminan keberlangsungan momentum kemajuan ekonomi yang dicapai saat WOC dan CTI Summit. Dan, dalam jangka panjang Sulut saatnya menyusun grand economic design yang prospektif bagi Indonesia dan daerah ini. Untuk kepentingan ini, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada perayaan Natal 25 Desember 2008 di Bumi Beringin yang menyebutkan “Manado (Sulut) Pintu Gerbang Indonesia di Asia Timur” menjadi titik awal yang baik.

Kita sungguh sangat berharap, kita semua, utamanya para pemimpin di daerah ini, tidak menyia-nyiakan peluang dan kesempatan itu. Yang sangat kita khawatirkan, agenda politik, Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009, membuat para pemimpin kita lupa dan abai, lalu menyia-nyiakan peluang dan kesempatan ini. Kalau ini terjadi, peringatan CNN: “economic worries in 2009” menjadi kenyataan juga di Sulut.

Tetapi saya yakin, para pemimpin di Sulut bukan kelas ‘politisi kacangan’ yang berorientasi cuma 5-10 tahun. Mereka adalah para pemimpin yang akan membuat sejarah, bervisi dan berwawasan jauh ke depan. Mereka adalah para pemimpin yang sangat ingin dan bertekad memanfaatkan peluang dan kesempatan ekonomi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang tadi untuk kepentingan Sulut, bahkan Indonesia untuk 200-300 tahun ke depan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar