Rabu, 11 Maret 2009

Peta Politik Sulawesi Tenggara

Peta Politik
Sulawesi Tenggara : Menepikan Monoloyalitas dengan Kekuatan Figur
Oleh : PALUPI PANCA ASTUTI

Rabu, 25 Februari 2009

Kekuatan figur elite menjadi ciri dari politik Sulawesi Tenggara jika dibandingkan dengan daerah lain. Sejak pemilu pertama, kekuatan figur politik telah mampu bersaing dengan sejumlah partai politik besar berskala nasional. Akankah figur calon anggota legislatif menjadi penarik utama dalam perhelatan Pemilu 2009?

Sosok figur menjadi penentu yang sangat mewarnai perimbangan politik pada Pemilu 1955. Selain Masyumi, nyaris tidak ada partai politik lain, baik nasional maupun lokal, yang cukup kuat. Bahkan, PNI yang di level nasional menjadi pemenang, di Sultra hanya mampu meraih 8 persen suara. Sebaliknya, dukungan yang cukup besar justru diberikan pemilih kepada calon perseorangan dari tokoh setempat.

Calon perseorangan La Ode Ida Effendi dan La Ode Hadi masing-masing berhasil menduduki nomor dua dan tiga dengan jumlah dukungan 23 persen dan 17 persen. Selain mereka, terdapat beberapa nama peserta perseorangan. Jika dijumlahkan, dukungan yang diberikan untuk seluruh calon perseorangan mencapai 41 persen, sama dengan suara yang diraih Masyumi.

Sayangnya, kekuatan calon perseorangan ini kemudian amblas dalam pemilu-pemilu berikutnya yang tidak lagi mengadopsi calon perseorangan maupun partai lokal.

Pada Pemilu 1971, kekuatan rezim pemerintahan baru lewat Golkar langsung hadir menjadi pemenang mutlak dengan meraih 93 persen suara. Kemudian, selama periode tahun 1971- 1992 ketika Provinsi Sultra masih terbagi dalam empat kabupaten, yakni Kendari, Muna, Buton, dan Kolaka, suara untuk Golkar tak pernah kurang dari 90 persen. Bahkan, setelah Kabupaten Kendari memekarkan diri menjadi Kotamadya Kendari pada tahun 1997, dominasi Golkar tetap tidak terpatahkan.

Golkar juga masih dominan dalam pemilu demokratis yang digelar pada tahun 1999. Pada saat anjloknya suara Golkar di tingkat nasional dan naiknya pamor PDI-P, Sultra tetap menjadi basis Golkar yang kuat. Selain mampu meraih total suara 63 persen, partai berlambang beringin ini juga kukuh di setiap kabupaten/kota. PDI-P di urutan kedua hanya mampu mengumpulkan suara kurang dari 14 persen.

Suara Golkar hanya dapat digerogoti secara drastis justru oleh tumbuhnya partai-partai kelas menengah pada Pemilu 2004. Partai-partai seperti PPP, PNBK, PAN, PBB, PKB, PKS, dan Demokrat menjadi penahan kembalinya kejayaan Golkar. Tumbuhnya partai-partai menengah ini juga memangkas eksistensi PDI-P dan menempatkannya sejajar dengan mereka. Bahkan, PPP mampu merebut posisi kedua, yang pada pemilu sebelumnya diduduki oleh PDI-P.

Tampaknya ada kecenderungan sebagian pemilih tradisional di Sultra kembali berpaling kepada partai bercorak Islam. Selain PPP, PAN adalah salah satu partai berbasis agama yang berhasil meraup perolehan suara cukup berimbang dengan PDI-P, yakni sekitar tujuh persen. Di luar itu, penetrasi partai berbasis massa Islam lainnya, seperti PKS, PBB, dan PKB, juga cukup memberi pengaruh pada penurunan Partai Golkar. Tak dapat dimungkiri, partai kelas menengah inilah yang pada akhirnya menjadi kekuatan tandingan dalam arena- arena kontestasi lokal.

Dampak penguasaan oleh partai-partai menengah adalah berkurangnya penguasaan Partai Golkar di level kabupaten/kota. Pada Pemilu 2004, Golkar tidak seratus persen berhasil ”menguningkan” Sultra. Kota Bau-Bau, wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton, seakan membelot dari Golkar dengan memenangkan PBB, partai baru yang bernuansa keagamaan. Perolehan Golkar saat itu 11.595 suara, kalah dari PBB yang mengumpulkan 13.278 suara.

Penurunan suara Golkar di Buton sebenarnya sudah mulai terdeteksi sejak pemilihan anggota legislatif tahun 1999. Pemilu di Buton saat itu diikuti sebanyak 218.564 pemilih. Hasilnya, Golkar hanya mampu mendulang 53 persen dari total pemilih. Hasil itu sangat jauh jika dibandingkan dengan perolehan suara pada Pemilu 1997. Kala itu, Buton berhasil ”dikuningkan” dengan kemenangan mutlak Golkar yang meraih 99,5 persen suara. Namun, gegap gempita reformasi rupanya kemudian mampu menurunkan pesona Golkar. Tidak hanya di Buton, tetapi juga di wilayah lain.

Saat Pemilu 2004 berlangsung, Kabupaten Buton sudah mekar menjadi dua kabupaten, yakni Buton dan Wakatobi, ditambah Kota Bau-Bau. Meski Buton dan Wakatobi ”masih setia” memenangkan Partai Golkar yang nasionalis—dengan perolehan suara yang terus merosot—Kota Bau- Bau justru menentang arus dengan memenangkan partai bercorak Islam. Kota yang dulunya menjadi pusat Kerajaan dan Kesultanan Buton itu seperti mengisyaratkan keinginan untuk kembali mengentalkan nuansa agama di wilayah tersebut.

Kekuatan figur

Ketepatan memilih calon oleh partai akan menentukan kemenangan sang calon. Hal ini berlaku dalam pemilihan kepala daerah di Sultra. Kunci utama memenangkan pilihan rakyat dalam pilkada adalah faktor kedekatan sang tokoh kepada konstituen. Selain kedekatan atas dasar kesamaan suku, klan, atau profesi, pendekatan secara personal seorang tokoh kepada masyarakat adalah faktor yang mampu mendorong masyarakat memberikan pilihannya.

Isyarat untuk lebih memerhatikan faktor figur dalam memenangkan hati masyarakat terungkap pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sultra beberapa waktu lalu. Saat itu Kabupaten Muna yang merupakan asal etnis Muna lebih memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Nur Alam-Saleh Lasata (etnis Tolaki dan Muna). Padahal, terdapat calon gubernur lainnya yang berasal dari etnis Muna, yaitu Mahmud Hamundu yang diusung oleh PPP dan PDI-P.

Kemenangan pasangan Alam- Lasata yang diusung PAN dan PBR ini sekaligus menguburkan impian Golkar untuk menyandingkan ”jagoannya” dalam pemilihan gubernur, yakni pasangan Ali Mazi dan Abdul Samad. Ali Mazi, pejabat bertahan (incumbent) yang berasal dari etnis Buton, hanya mendapat dukungan kuat di wilayah Buton, Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari.

Prinsip yang sama tentang ketokohan terjadi juga pada pilkada bupati dan wali kota. Jika pada pemilu anggota legislatif, Partai Golkar masih bisa unjuk gigi di hampir seluruh wilayah, hal yang berbeda terjadi pada pilkada di kabupaten dan kota. Sejak pilkada pertama digulirkan tahun 2005, Golkar hanya berhasil menang di tiga kabupaten, satu di antaranya berkoalisi dengan partai lain.

Pada pemilihan bupati di Kabupaten Muna, pasangan yang diusung secara tunggal oleh Partai Golkar mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan perolehan suara 51 persen. Bupati terpilih saat itu, Ridwan Bae, adalah bupati Muna pada periode sebelumnya. Kemenangan Ridwan, selain didukung oleh faktor primordial karena ia berasal dari etnis Muna, juga didukung oleh ketokohan dan pendekatan yang dilakukannya, yang dianggap cukup mengena di hati masyarakat.

Wilayah kepulauan lain yang dimenangkan pasangan kepala daerah dari Golkar adalah Kabupaten Buton. Seperti di Muna, pemenang pilkada Bupati Buton adalah juga bupati sebelumnya. Di wilayah ini, Golkar harus berkoalisi dengan PAN yang menjadi wakil bupati. Semakin mengendurnya kekuasaan partai pohon beringin yang terlihat dari hasil pemilu di Buton membuat Golkar kurang percaya diri untuk mengusung calon-calonnya sendiri.

Di wilayah daratan, satu-satunya pilkada yang bisa dimenangkan oleh Partai Golkar adalah Kabupaten Bombana. Meski tidak menang mutlak atas 3 pasang lawannya, pasangan calon dari Golkar berhasil meraih suara terbanyak di wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton tersebut.

Menurut Peribadi, pemerhati masalah sosial politik dari Universitas Haluoleo Kendari, meski dukungan atas Golkar terlihat semakin menurun, setidaknya ada dua alasan mengapa partai ini masih bisa menguasai pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah di Sultra.

”Ditinjau dari segi partai politik, kemenangan Golkar di wilayah-wilayah itu lebih karena ia adalah partai tua yang sudah dikenal baik pemilih tradisional maupun rasional. Selain itu, tokoh dan pemimpin Golkar di situ kebanyakan adalah juga tokoh- tokoh masyarakat,” ungkap Peribadi.

Menjelang pemilu anggota legislatif pada April mendatang, Sultra akan menjadi ajang uji kesetiaan pemilih terhadap Partai Golkar. ”Besar dugaan, Golkar akan masih memiliki prospek pada Pemilu 2009 ini. Selain karena pemilih Sultra belum banyak berubah, juga karena Ketua DPW Golkar yang terpilih menggantikan Ali Mazi cukup populer dan berkinerja tinggi,” kata Peribadi.

Apakah dengan demikian Golkar akan mampu bertahan atau meningkatkan suara? Tentu hal ini akan sangat bergantung pada kekuatan sosok dari calon-calon yang diusung partai lain. Perimbangan kekuatan juga bisa muncul dari kemahiran mesin politik untuk merebut simpati konstituen. Peribadi mencontohkan, munculnya Partai Gerindra yang melakukan pendekatan tepat dan personal kepada masyarakat bisa mengancam tergerusnya suara partai-partai lama, salah satunya Golkar. (Palupi Panca Astuti/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar