Rabu, 11 Maret 2009

Pelaku Agrobisnis Tingkat Dunia Kurang

Pelaku Agrobisnis Tingkat Dunia Kurang
UKM Terus Terpinggirkan

Sabtu, 28 Februari 2009
Jakarta, Kompas - Era globalisasi menuntut persaingan usaha sektor pertanian mulai dari hulu hingga hilir. Padahal, hingga saat ini, pelaku usaha agrobisnis berskala menengah dan besar di Indonesia masih sangat minim.

Oleh karena itu, menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, harus ditumbuhkan generasi pengusaha yang mampu mengembangkan potensi pertanian. Mentan menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers, Jumat (27/2) di Jakarta, terkait dengan rencana penyelenggaraan Agrinex EXPO 2009, 12-14 Maret.

Dijelaskan, peluang produk pertanian Indonesia memasuki pasar internasional sangat besar. Produk primer perkebunan Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi, sudah menembus pasar dunia. Banyak pengusaha besar yang menanamkan modal di perkebunan.

Selain perkebunan, potensi Indonesia juga relatif besar di subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan. Akan tetapi, di subsektor-subsektor tersebut belum banyak pengusaha besar yang berminat mengembangkan investasinya di sana.

Hal itu, menurut Anton, karena belum ada dukungan yang optimal dari perbankan. ”Aturan bank yang ada justru membuat susah sektor pertanian untuk berkembang,” katanya.

Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Adi Sasono mengharapkan, Indonesia menjadi ”pemain penting” sektor pertanian di tingkat regional.

Indonesia memiliki potensi besar masuk ke pasar regional, antara lain melalui pengembangan bahan bakar nabati dan pengembangan produk pertanian organik.

”Pengembangan industri tanaman pangan dan hortikultura bisa difokuskan ke sana,” tutur Adi.

Pengembangan agrobisnis di Indonesia, kata Adi, bukan hanya butuh dukungan perbankan, tetapi juga infrastruktur dasar, seperti jalan, irigasi, listrik, dan kemudahan berinvestasi.

”Selain, insentif pemerintah dan dorongan kebijakan makro,” katanya.

Pasar tradisional menyusut

Adi Sasono menyoroti adanya arah kebijakan yang tidak mendukung berkembangnya usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk UKM pertanian. Ini tampak dari semakin berkurangnya pasar tradisional karena tergusur pasar modern. Pasar tradisional setiap tahun menyusut 8 persen, sementara pasar modern tumbuh 30 persen.

Padahal, hubungan sosial-psikologi dan ekonomi antara pasar tradisional dan UKM sangat erat. Sebagian besar pro- duk yang diperdagangkan di pasar tradisional dihasilkan UKM, sehingga matinya pasar tradisional mematikan industri kecil yang memasok ke pasar tradisional.

”Sementara, kerja sama bisnis dengan pasar modern tidak tercipta. Pasar modern menetapkan berbagai syarat yang menyulitkan industri kecil sehingga masuklah industri makanan-minuman besar asing ke pasar domestik,” ujarnya. (MAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar