Kampanye
Bakal Calon Gubsu Norak
Oleh
: Muhammad Hidayat
Pilkada Sumatera Utara sebentar lagi
akan digelar. Kampanye bakal calon Gubernur Sumatera Utara pun semakin semarak.
Hampir di setiap sudut jalan terdapat poster atau baliho calon Gubernur
Sumatera Utara. Tidak hanya menggunakan poster, baliho dan spanduk, calon
Gubernur juga menggunakan media massa sebagai media kampanye. Agaknya wajar,
jika calon gubernur Sumatera Utara ini jor-joran berkampanye. Karena,
pelaksanaan Pilkada Sumut tinggal lima bulan lagi. Tepatnya pada Kamis, 7 Maret
2013. Dengan waktu singkat itu, calon harus mampu menarik simpati pemilih.
Tetapi pertanyaannya apakah kampanye mampu membuat pemilih tertarik dan
akhirnya menjoblos sang calon pada H nanti?
Idealnya, kampanye harus mampu
menggaet pemilih sebanyaknya, karena kampanye digelar untuk menang. Kampanye
adalah bagian komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai sebuah proses
penyampaian pesan dari satu pihak (komunikator) kepada pihak lainnya (komunikan)
baik secara langsung atau bermedia. Tujuannya untuk mencapai kesamaan (common)
pengetahuan, pendapat dan prilaku antara orang yang menyampaikan pesan dengan
penerima pesan. Pemasangan poster, spanduk dan baliho adalah penyampaian pesan
bermedia. Artinya, orang yang menyampaikan pesan tidak langsung bertemu dengan
orang yang disasar.
Aktivitas komunikasi terkadang hanya
mampu mengubah pengetahuan orang, atau mengubah pendapatnya tetapi tidak mengubah
prilakunya. Dalam konteks kampanye Pilkada Gubsu ini, pemasangan spanduk, poster, baliho atau
bahkan billboard hanya akan membuat pemilih mengetahui orang yang terpampang
itu adalah bakal calon gubernur Sumatera Utara. Pemasangan poster, spanduk dan
baliho itu belum tentu mengubah prilaku orang yang melihat poster dan billboard
itu. Dalam hal ini, prilaku yang dimaksud adalah menjoblos tanda gambar atau
nomor pada saat hari pemilihan nanti. Maka untuk mengubah prilaku pemilih
sesuai yang diharapkan, kampanye harus dilakukan berbarengan dengan metode lainnya.
Dalam kajian komunikasi, perubahan
prilaku orang yang diterpa pesan (komunikan) lebih efektif jika
dilakukan secara langsung (tatap muka). Keberhasilan proses komunikasi sangat
dipengaruhi oleh kepribadian orang yang menyampaikan pesan (komunikator). Dengan
komunikasi langsung, komunikan akan mengetahui kepribadian bakal calon Gubernur
walaupun tidak keseluruhan. Dengan demikian jika kepribadian yang ditampilkan
bakal calon gubernur itu sesuai harapan pemilih maka pemilih akan memilihnya.
Sebenarnya, poster atau baliho bisa
memunculkan sisi unik kepribadian orang yang berkampanye. Walaupun tidak sekuat
jika dilakukan dengan tatap muka. Sebagai contoh, calon Gubernur Sumut bisa
memunculkan kesan orang yang agamis, atau orang yang pluralis. Untuk
mengesankan agamis, bisa dengan menggunakan gambar dengan symbol agama
tertentu. Yang perlu diingat, cara ini harus disesuaikan dengan kondisi
masyarakat. Pemunculan identitas etnis atau agama itu hanya tepat dilakukan
untuk menyasar masyarakat yang homogen dan terikat pada nilai kesukuan atau
agama. Tetapi pada masyarakat heterogen yang mengedepan rasionalitas, seperti
kota Medan, tentu hal itu tidak mengena.
Jika ditelaah dari poster dan baliho
yang terpajang, bakal calon gubernur Sumut cenderung melakukan pendekatan
primordial. Indikasinya, baliho itu memasang symbol agama tertentu. Tengoklah
pada Ramadhan dan Lebaran lalu, semua
calon memasang poster yang mengesankan seorang muslim yang taat. Tentu lebih
efektif jika calon memajang poster atau spanduk yang mengesankan pluralis
karena akan mudah diterima warga
Sumatera Utara yang heterogen. Sayangnya, tidak satu pun calon yang menerapkan
cara ini.
Semua poster dan baliho yang
terpasang di sudut-sudut kota Medan, cenderung mengesankan dekat dengan agama
Islam. Mungkin ada bantahan yang muncul. Mereka menjawab; "baliho itu kan
dipasang pada saat Ramadhan dan Lebaran. Jadi baliho yang ditampilkan harus
sesuai nuansa Islam". Bolehlah, alasan ini
dijadikan dalil. Tetapi pertanyaan yang muncul, apakah pada Hari Natal nanti
poster yang ditampilkan diubah, dan disesuaikan dengan nuansa Kristen? Kalau
cara ini dibuat tentu hasilnya jadi konyol.
Baliho Serba Norak
Selain terkesan primodial, ada pula baliho
bakal calon gubsu ini yang bertolak belakang antara target yang diharapkan
dengan gambar yang ditampilkan. Baliho itu berupa gambar bakal calon sedang
berkunjung ke daerah miskin. Nampak bakal calon sedang berdialog dengan
masyarakat sambil menggendong anak kecil di depan sebuah rumah. Gambar ini
ditampilkan untuk menunjukkan bakal calon gubernur itu perhatian kepada
masyarakat kecil. Namun yang terjadi bertolak belakang antara tujuan yang
diharapkan dengan kesan yang timbul.
Hal yang membuat kontradiksi (tolak
belakang) adalah tampilan bakal calon sangat kontras dengan kondisi masyarakat.
Bakal calon gubsu itu memakai baju safari dipadu dengan sepatu mengkilat. Tentu
sangat kontras dengan pakaian warga di lokasi tersebut. Apalagi dibandingkan
dengan rumah dan halaman yang becek tentu akan bertolak belakang dengan sepatu
kilat yang dipakai bakal calon gubsu itu.
Saat ini masyarakat mengdambakan
pemimpin yang merakyat dan tidak berjarak dengan masyarakat. Gap atau jarak itu
bisa dilihat dari perbedaan jenis pakaian yang digunakan. Coba bayangkan, jika
seorang berpakaian safari dengan sepatu kilat hadir di tengah masyarakat yang
berpakaian lusuh di depan rumah berdinding tepas, dan berhalaman becek. Kesan
apa yang muncul di kepala anda? Mungkin anda akan berkomentar: "Saya
seperti melihat gambaran kehidupan zaman penjajahan dulu. Seorang tuan tanah
atau penguasa sedang melihat suatu daerah". Atau anda akan berujar:
"Saya seperti melihat pejabat Orde Baru yang sedang kunjungan kerja.
Foto-foto dengan masyarakat lalu pulang". Kesan ini tentu semakin menguat ketika
anda mengetahui orang yang dipublikasi itu adalah seorang kepala daerah.
Untungnya, baliho itu segera
dicabut. Entah karena bakal calon gubernur itu sadar baliho itu bisa
menimbulkan kesan negatif atau jangan-jangan ditiup angin kencang hingga rubuh.
Jika pembongkaran itu dilakukan karena paham baliho itu keliru, tentu saja baliho
baru akan dipasang di tempat itu. Tetapi hingga kini pergantian baliho yang
baru tidak dilakukan. Jadi besar dugaan, baliho itu rubuh ditiup angin kencang
yang kerap terjadi beberapa hari belakangan ini.
Kampanye Gaya Ustaz
Tidak hanya baliho yang dipajang,
bakal calon gubernur juga beriklan di radio. Iklan radio ini sangat norak dan
lucu. Bayangkan ada bakal calon gubernur yang bertindak sebagai motivator.
Dalam iklan itu, bakal calon gubernur menyampaikan pesan-pesan layaknya Mario
Teguh atau Jamil Azzaini. Padahal orang tahu bakal calon tadi adalah mantan
pejabat daerah. Adapula yang bertindak sebagai ustaz. Hal ini terjadi pada
bulan Ramadhan dan Lebaran yang lalu. Iklan itu sangat norak dan lucu, kalau
tidak boleh disebut tolol. Bayangkan seorang yang tidak fasih melafalkan bahasa
Arab tiba-tiba menyampaikan sebuah hadits. Untuk hal yang sederhana saja ia
tidak fasih mengucapkannya, seperti menyebut Allah menjadi Aloh, Rasulullah
menjadi Rasululoh. Padahal kata itu bisa diganti dengan kata lain,
misalnya kata Allah bisa diganti dengan kata Rabb, Rasulullah diganti
jadi Nabi.
Nah sekarang bayangkan lagi, orang
yang tidak fasih itu menyampaikan satu hadits yang berisi nama-nama orang Arab
dan kata-kata Arab. Pasti "berselemak" kedengaranya. Jika ditelaah
keshahihan hadits yang disampaikan tentu akan semakin runyam pembicaraannya.
Contohnya; bakal calon tersebut membaca hadits yang terdapat kata tarawih. Padahal
istilah tarawih itu muncul setelah Rasulullah wafat. Hadits yang
dijadikan dalil oleh ulama tentang tarawih sama sekali tidak memuat kata
tarawih. Hadits yang berasal dari Aisyah itu hanya menceritakan pada bulan
Ramadhan, Rasulullah keluar rumah untuk sholat malam di masjid berjamaah. Tidak
disebutkan sholat itu namanya tarawih. (Lihat Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, Juz II bab Sholat Nawafil atau Tathawwu).
Selayaknya, sebelum iklan itu ditayangkan bakal calon
gubernur tadi berkonsultasi dengan orang yang ahli. Barangkali inilah yang
tidak dilakukan bakal calon. Ia berfikir orang yang membuat naskah iklan itu
sudah cukup paham. Ia cuma berangan-angan,
iklan itu bisa mempengaruhi orang yang mendengar, padahal iklan ini
dengan mudah dijadikan bahan black campagn dari bakal calon lain,
terutama bakal calon dari parpol Islam. Jurkamnya cukup bilang: "Umat
Islam harus memilih calon yang seaqidah, tetapi bukan asal Islam saja. Bukan
bakal calon yang tak fasih bilang Allah, tak fasih bilang Rasulullah. Karena
apa…seorang pemimpin otomatis jadi imam sholat, sedangkan imam sholat itu harus
fasih bacaannya".
Melihat kondisi ini, bisa
disimpulkan bakal calon Gubenur Sumatera Utara tidak mempersiapkan diri
sebelumnya. Bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang bakal bertarung di Pilkada
nanti terkesan terkaget-kaget. Kampanye yang diluncurkan saat ini hanya akan
membuang banyak biaya tanpa hasil maksimal. Padahal jika dipersiapkan jauh hari
sebelumnya, tentu kampanye yang digelar tidak norak dan konyol. Peluang untuk
mempersiapkan diri sebenarnya dimiliki bakal calon, terutama bupati dan Plt
Gubsu. Mereka cukup membuat kebijakan spektakuler. Bukankah itu yang dilakukan
Jokowi dulu? Ia meluncurkan Mobil Esemka yang digadang-gadangnya jadi Mobil
Nasional. Dengan program ini Jokowi tak perlu kampanye, karena semua media
massa memberitakannya dengan diiringi pujian dan sanjungan.
Ironi
memang. Bakal calon Gubernur kita, tidak serius memikir strategi kampanye.
Memang yang menjadi konsentrasi pemikiran mereka saat ini bagaimana mendapatkan
perahu untuk maju. Jika mereka tidak punya cara kampanye yang jitu, tentu
pilihan terakhir adalah politik uang (money politic). Cara ini memang
jitu untuk menang di Pilkada. Kalau begini realitanya, mungkinkah kita
mendapatkan pemimpin yang baik? Entah lah. (tulisan ini telah dimuat di Harian Waspada)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar