Minggu, 22 Desember 2013

Kampanye Bakal Calon Gubsu Norak



Kampanye Bakal Calon Gubsu Norak
Oleh : Muhammad Hidayat
 
Pilkada Sumatera Utara sebentar lagi akan digelar. Kampanye bakal calon Gubernur Sumatera Utara pun semakin semarak. Hampir di setiap sudut jalan terdapat poster atau baliho calon Gubernur Sumatera Utara. Tidak hanya menggunakan poster, baliho dan spanduk, calon Gubernur juga menggunakan media massa sebagai media kampanye. Agaknya wajar, jika calon gubernur Sumatera Utara ini jor-joran berkampanye. Karena, pelaksanaan Pilkada Sumut tinggal lima bulan lagi. Tepatnya pada Kamis, 7 Maret 2013. Dengan waktu singkat itu, calon harus mampu menarik simpati pemilih. Tetapi pertanyaannya apakah kampanye mampu membuat pemilih tertarik dan akhirnya menjoblos sang calon pada H nanti?  
Idealnya, kampanye harus mampu menggaet pemilih sebanyaknya, karena kampanye digelar untuk menang. Kampanye adalah bagian komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan dari satu pihak (komunikator) kepada pihak lainnya (komunikan) baik secara langsung atau bermedia. Tujuannya untuk mencapai kesamaan (common) pengetahuan, pendapat dan prilaku antara orang yang menyampaikan pesan dengan penerima pesan. Pemasangan poster, spanduk dan baliho adalah penyampaian pesan bermedia. Artinya, orang yang menyampaikan pesan tidak langsung bertemu dengan orang yang disasar.
Aktivitas komunikasi terkadang hanya mampu mengubah pengetahuan orang, atau mengubah pendapatnya tetapi tidak mengubah prilakunya. Dalam konteks kampanye Pilkada Gubsu ini,  pemasangan spanduk, poster, baliho atau bahkan billboard hanya akan membuat pemilih mengetahui orang yang terpampang itu adalah bakal calon gubernur Sumatera Utara. Pemasangan poster, spanduk dan baliho itu belum tentu mengubah prilaku orang yang melihat poster dan billboard itu. Dalam hal ini, prilaku yang dimaksud adalah menjoblos tanda gambar atau nomor pada saat hari pemilihan nanti. Maka untuk mengubah prilaku pemilih sesuai yang diharapkan, kampanye harus dilakukan berbarengan dengan metode lainnya.
Dalam kajian komunikasi, perubahan prilaku orang yang diterpa pesan (komunikan) lebih efektif jika dilakukan secara langsung (tatap muka). Keberhasilan proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang yang menyampaikan pesan (komunikator). Dengan komunikasi langsung, komunikan akan mengetahui kepribadian bakal calon Gubernur walaupun tidak keseluruhan. Dengan demikian jika kepribadian yang ditampilkan bakal calon gubernur itu sesuai harapan pemilih maka pemilih akan memilihnya.
Sebenarnya, poster atau baliho bisa memunculkan sisi unik kepribadian orang yang berkampanye. Walaupun tidak sekuat jika dilakukan dengan tatap muka. Sebagai contoh, calon Gubernur Sumut bisa memunculkan kesan orang yang agamis, atau orang yang pluralis. Untuk mengesankan agamis, bisa dengan menggunakan gambar dengan symbol agama tertentu. Yang perlu diingat, cara ini harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Pemunculan identitas etnis atau agama itu hanya tepat dilakukan untuk menyasar masyarakat yang homogen dan terikat pada nilai kesukuan atau agama. Tetapi pada masyarakat heterogen yang mengedepan rasionalitas, seperti kota Medan, tentu hal itu tidak mengena.
Jika ditelaah dari poster dan baliho yang terpajang, bakal calon gubernur Sumut cenderung melakukan pendekatan primordial. Indikasinya, baliho itu memasang symbol agama tertentu. Tengoklah pada Ramadhan dan  Lebaran lalu, semua calon memasang poster yang mengesankan seorang muslim yang taat. Tentu lebih efektif jika calon memajang poster atau spanduk yang mengesankan pluralis karena akan mudah diterima  warga Sumatera Utara yang heterogen. Sayangnya, tidak satu pun calon yang menerapkan cara ini.
Semua poster dan baliho yang terpasang di sudut-sudut kota Medan, cenderung mengesankan dekat dengan agama Islam. Mungkin ada bantahan yang muncul. Mereka menjawab; "baliho itu kan dipasang pada saat Ramadhan dan Lebaran. Jadi baliho yang ditampilkan harus sesuai nuansa Islam". Bolehlah, alasan ini  dijadikan dalil. Tetapi pertanyaan yang muncul, apakah pada Hari Natal nanti poster yang ditampilkan diubah, dan disesuaikan dengan nuansa Kristen? Kalau cara ini dibuat tentu hasilnya jadi konyol.
Baliho Serba Norak
Selain terkesan primodial, ada pula baliho bakal calon gubsu ini yang bertolak belakang antara target yang diharapkan dengan gambar yang ditampilkan. Baliho itu berupa gambar bakal calon sedang berkunjung ke daerah miskin. Nampak bakal calon sedang berdialog dengan masyarakat sambil menggendong anak kecil di depan sebuah rumah. Gambar ini ditampilkan untuk menunjukkan bakal calon gubernur itu perhatian kepada masyarakat kecil. Namun yang terjadi bertolak belakang antara tujuan yang diharapkan dengan kesan yang timbul.
Hal yang membuat kontradiksi (tolak belakang) adalah tampilan bakal calon sangat kontras dengan kondisi masyarakat. Bakal calon gubsu itu memakai baju safari dipadu dengan sepatu mengkilat. Tentu sangat kontras dengan pakaian warga di lokasi tersebut. Apalagi dibandingkan dengan rumah dan halaman yang becek tentu akan bertolak belakang dengan sepatu kilat yang dipakai bakal calon gubsu itu.
Saat ini masyarakat mengdambakan pemimpin yang merakyat dan tidak berjarak dengan masyarakat. Gap atau jarak itu bisa dilihat dari perbedaan jenis pakaian yang digunakan. Coba bayangkan, jika seorang berpakaian safari dengan sepatu kilat hadir di tengah masyarakat yang berpakaian lusuh di depan rumah berdinding tepas, dan berhalaman becek. Kesan apa yang muncul di kepala anda? Mungkin anda akan berkomentar: "Saya seperti melihat gambaran kehidupan zaman penjajahan dulu. Seorang tuan tanah atau penguasa sedang melihat suatu daerah". Atau anda akan berujar: "Saya seperti melihat pejabat Orde Baru yang sedang kunjungan kerja. Foto-foto dengan masyarakat lalu pulang". Kesan ini tentu semakin menguat ketika anda mengetahui orang yang dipublikasi itu adalah seorang kepala daerah.
Untungnya, baliho itu segera dicabut. Entah karena bakal calon gubernur itu sadar baliho itu bisa menimbulkan kesan negatif atau jangan-jangan ditiup angin kencang hingga rubuh. Jika pembongkaran itu dilakukan karena paham baliho itu keliru, tentu saja baliho baru akan dipasang di tempat itu. Tetapi hingga kini pergantian baliho yang baru tidak dilakukan. Jadi besar dugaan, baliho itu rubuh ditiup angin kencang yang kerap terjadi beberapa hari belakangan ini.
Kampanye Gaya Ustaz
Tidak hanya baliho yang dipajang, bakal calon gubernur juga beriklan di radio. Iklan radio ini sangat norak dan lucu. Bayangkan ada bakal calon gubernur yang bertindak sebagai motivator. Dalam iklan itu, bakal calon gubernur menyampaikan pesan-pesan layaknya Mario Teguh atau Jamil Azzaini. Padahal orang tahu bakal calon tadi adalah mantan pejabat daerah. Adapula yang bertindak sebagai ustaz. Hal ini terjadi pada bulan Ramadhan dan Lebaran yang lalu. Iklan itu sangat norak dan lucu, kalau tidak boleh disebut tolol. Bayangkan seorang yang tidak fasih melafalkan bahasa Arab tiba-tiba menyampaikan sebuah hadits. Untuk hal yang sederhana saja ia tidak fasih mengucapkannya, seperti menyebut Allah menjadi Aloh, Rasulullah menjadi Rasululoh. Padahal kata itu bisa diganti dengan kata lain, misalnya kata Allah bisa diganti dengan kata Rabb, Rasulullah diganti jadi Nabi.
Nah sekarang bayangkan lagi, orang yang tidak fasih itu menyampaikan satu hadits yang berisi nama-nama orang Arab dan kata-kata Arab. Pasti "berselemak" kedengaranya. Jika ditelaah keshahihan hadits yang disampaikan tentu akan semakin runyam pembicaraannya. Contohnya; bakal calon tersebut membaca hadits yang terdapat kata tarawih. Padahal istilah tarawih itu muncul setelah Rasulullah wafat. Hadits yang dijadikan dalil oleh ulama tentang tarawih sama sekali tidak memuat kata tarawih. Hadits yang berasal dari Aisyah itu hanya menceritakan pada bulan Ramadhan, Rasulullah keluar rumah untuk sholat malam di masjid berjamaah. Tidak disebutkan sholat itu namanya tarawih. (Lihat Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz II bab Sholat Nawafil atau Tathawwu).
Selayaknya,  sebelum iklan itu ditayangkan bakal calon gubernur tadi berkonsultasi dengan orang yang ahli. Barangkali inilah yang tidak dilakukan bakal calon. Ia berfikir orang yang membuat naskah iklan itu sudah cukup paham. Ia cuma berangan-angan,  iklan itu bisa mempengaruhi orang yang mendengar, padahal iklan ini dengan mudah dijadikan bahan black campagn dari bakal calon lain, terutama bakal calon dari parpol Islam. Jurkamnya cukup bilang: "Umat Islam harus memilih calon yang seaqidah, tetapi bukan asal Islam saja. Bukan bakal calon yang tak fasih bilang Allah, tak fasih bilang Rasulullah. Karena apa…seorang pemimpin otomatis jadi imam sholat, sedangkan imam sholat itu harus fasih bacaannya".
Melihat kondisi ini, bisa disimpulkan bakal calon Gubenur Sumatera Utara tidak mempersiapkan diri sebelumnya. Bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang bakal bertarung di Pilkada nanti terkesan terkaget-kaget. Kampanye yang diluncurkan saat ini hanya akan membuang banyak biaya tanpa hasil maksimal. Padahal jika dipersiapkan jauh hari sebelumnya, tentu kampanye yang digelar tidak norak dan konyol. Peluang untuk mempersiapkan diri sebenarnya dimiliki bakal calon, terutama bupati dan Plt Gubsu. Mereka cukup membuat kebijakan spektakuler. Bukankah itu yang dilakukan Jokowi dulu? Ia meluncurkan Mobil Esemka yang digadang-gadangnya jadi Mobil Nasional. Dengan program ini Jokowi tak perlu kampanye, karena semua media massa memberitakannya dengan diiringi pujian dan sanjungan.
Ironi memang. Bakal calon Gubernur kita, tidak serius memikir strategi kampanye. Memang yang menjadi konsentrasi pemikiran mereka saat ini bagaimana mendapatkan perahu untuk maju. Jika mereka tidak punya cara kampanye yang jitu, tentu pilihan terakhir adalah politik uang (money politic). Cara ini memang jitu untuk menang di Pilkada. Kalau begini realitanya, mungkinkah kita mendapatkan pemimpin yang baik? Entah lah. (tulisan ini telah dimuat di Harian Waspada)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar