KAMPANYE SALAH KAPRAH
Oleh :
Muhammad Hidayat
Media
memberitakan caleg melanggar aturan kampanye. Dalam Peraturan KPU No 15 tahun
2013 disebutkan, caleg DPR RI dan DPRD hanya dibenarkan memasang spanduk dengan
ukuran 1,5 x 7 meter, sebanyak satu buah dalam setiap zona yang ditetapkan. Baliho
atau billboard hanya digunakan oleh parpol dan calon anggota DPD. Pemasangan
baliho atau billboard oleh parpol juga dibatasi jumlahnya. Parpol hanya boleh
memasang satu unit billboard di satu desa. Pada billboard itu, parpol tidak boleh
memajang gambar pengurus yang mencalonkan diri. Selain itu, bendera dan umbul-umbul
hanya dapat dipasang oleh partai politik.
Faktanya, banyak
calon anggota legislatif yang melanggar ketentuan ini. Banyak caleg memasang
spanduk lebih dari satu unit pada satu zona yang ditetapkan oleh KPUD. Karena
semangat terlalu menggebu, beca bermotor dan angkot juga dipasangi gambar caleg.
Yang paling menyedihkan, pohon-pohon pun ditempeli poster caleg. Padahal
memasang poster pada sarana publik, di taman dan pohon dilarang.
Dari
fenomena pelanggaran kampanye ini dapat disimpulkan dua hal. Pertama; sebagian besar caleg adalah
orang yang tidak taat pada peraturan. UUD 1945 menyebutkan KPU adalah lembaga
yang bertugas menyelenggarakan Pemilu. Lembaga ini diberi wewenang membuat
aturan tertentu tentang pelaksanaan tahapan Pemilu. Ketika KPU telah membuat
aturan tata cara kampanye, kenyataannya sebagian besar caleg tidak mematuhinya.
Hal ini bisa dijadikan indikator untuk menyebut caleg tidak taat aturan.
Kedua; mayoritas calon anggota legislatif tidak mengetahui cara kampanye
yang baik. Meski kampanye berulang kali digelar, namun cara berkampanye caleg tetap
konvensional. Lebih dari itu, calon aggota legislatif ini tidak peka dengan
perubahan aturan tata cara Pemilu. Tulisan ini menyoroti efektivitas alat
peraga kampanye yang dipasang para caleg DPR dan DPRD.
Alat Peraga yang Mubazir
Pada Pemilu
2014, tata cara kampanye diatur dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPRD dan DPD. Aturan ini dijelaskan lebih rinci dalam Keputusan KPU No 15
tahun 2013 tentang Kampanye. Satu hal
yang perlu diingat adalah korelasi antara surat suara, pencoblosan dengan
pelaksanaan kampanye. Pada Pemilu kali ini ada perbedaan surat surat suara
antara caleg DPR RI, DPRD dengan calon anggota DPD. Surat suara untuk caleg DPR
RI, DPRD tidak memuat gambar caleg. Surat
suara itu hanya memuat tanda gambar partai politik, nomor urut parpol, nomor
urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.
Sementara itu surat suara untuk calon anggota DPD memuat gambar dan nama calon
anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan. Ketentuan ini dimuat pada pasal 143
UU No 8 tahun 2012.
Merujuk pada
ketentuan ini, seharusnya yang perlu disosialisasikan caleg DPR dan DPRD adalah
nomor urut dan nama celeg termasuk gambar dan nomor urut parpol. Tahap pertama
caleg harus mengenalkan tanda gambar dan nomor urut parpol. Karena, begitu
surat suara terbuka yang pertama terlihat pemilih adalah tanda gambar parpol.
Setelah menemukan tanda gambar parpol barulah pemilih akan menncari nomor urut atau
nama caleg bersangkutan.
Lazimnya,
dalam sebuah alat peraga – misalnya baliho atau poster – gambar caleg mengambil
porsi terbesar. Sedangkan nomor urut dan nama caleg itu sendiri ditulis pada
bagian bawah dengan ukuran lebih kecil. Dengan kondisi demikian hal pertama
yang diperhatikan masyarakat pada poster itu adalah gambar caleg. Biasanya,
masyarakat enggan meluangkan waktu untuk membaca tulisan yang tertera dibawah
gambar itu. Apalagi tulisannya sangat kecil. Maka secara psikologis, hal yang
diingat calon pemilih adalah gambar bukan nomor urut caleg, apalagi nama
lengkap caleg. Maka, pada bilik suara pemilih akan kerepotan mengingat nama dan
nomor urut caleg bersangkutan. Ingat, pada surat suara tidak ada gambar calon
anggota legislatif.
Tidak
sedikit pula caleg yang membuat poster, baliho atau spanduk berkongsi dengan
caleg lain dalam satu partai. Secara ekonomis, memang cara ini dapat menghemat
biaya. Contohnya, caleg DPR membuat baliho bersama caleg DPRD Kabupaten/ kota.
Yang menarik, caleg yang berkampanye bersama ini tidak sama nomor urutnya. Bisa
saja, caleg nomor urut 1 DPR RI berkampanye bersama caleg nomor urut 8 DPRD
Kabupaten. Maka dalam baliho itu memuat tiga tanda gambar, yaitu; gambar
partai, gambar caleg DPR dan caleg DPRD. Biasanya, pada poster gambar caleg
lebih besar dibandingkan tanda gambar parpol. Selain gambar caleg yang banyak,
nomor urut caleg bersangkutan juga berbeda.
Baliho seperti
ini akan menyulitkan masyarakat untuk mengingat caleg bersangkutan. Pasalnya,
masyarakat harus mengingat tiga nomor sekaligus, yaitu nomor urut partai, nomor
urut caleg DPR dan nomor urut caleg DPRD Kabupaten. Belum lagi menghafal nama
caleg yang bersangkutan, tentu semakin memusingkan pemilih. Ingat, surat suara
itu tidak dilengkapi dengan gambar caleg. Dengan demikian, dipastikan
pemasangan alat peraga kampanye itu tidak akan membawa hasil maksimal.
Hal yang
lebih konyol lagi, dalam satu poster atau baliho memuat tiga orang caleg.
Misalnya, caleg DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Kalau nomor urutnya
sama, tentu tidak jadi soal. Jika nomor urutnya berbeda, maka semakin sulitlah
masyarakat mengingatnya. Kesulitan ini semakin diperparah lagi dengan gambar
ketua umum partai. Tidak sedikit poster atau baliho para caleg memuat gambar
ketua umum partainya.
Sebenarnya
memasang gambar bisa dilakukan sepanjang tidak menghilangkan tujuan utama.
Sekali lagi, pada Pemilu ini surat suara tidak dilengkapi gambar caleg DPR dan
DPRD. Karena itu, pemasangan alat peraga bertujuan mengenalkan nomor urut dan
nama caleg. Pemasangan gambar dapat
dilakukan untuk menarik perhatian orang untuk mengamati poster itu lebih detil.
Misalnya, memasang gambar diri dengan dengan bentuk karikatur lucu. Kelucuan
gambar ini akan membuat masyarakat lebih jeli mengamati poster itu.
Komunikasi Pemasaran
Terpadu
Dalam ilmu Komunikasi
Pemasaran disebutkan, pemasaran politik dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok,
yaitu; political advertising dan political public relations. Pemasangan poster,
baliho atau spanduk adalah bentuk political advertising. Kampanye jenis ini
hemat waktu, jangkauan massa lebih besar. Namun memakan biaya besar dan efektivitasnya
sangat kecil. Sebaliknya, political public relations lebih signifikan untuk
merubah perilaku politik orang. Tetapi
massa yang tercover sangat terbatas. Karena itu, butuh waktu yang panjang.
Mengingat
surat suara tidak dilengkapi gambar, maka cara jitu yang dilakukan caleg adalah
political public relations. Caleg harus rajin membuat pertemuan dengan pemilih.
Saat bertemu dengan pemilih, caleg harus melakukan tiga hal. Pertama;
memberitahu tata cara memilih, termasuk bentuk surat suara. Kedua; mengenalkan
gambar dan nomor urut partai, nomor urut dan nama lengkap caleg bersangkutan.
Nama lengkap yang dipromosikan kepada pemilih harus sesuai dengan surat suara. Alat
peraga yang digunakan cukup satu spanduk atau baliho serta kartu nama yang
berisi nomor urut dan nama lengkap. Kartu nama ini disebarkan dalam acara
tersebut. Caleg juga bisa menggunakan baliho yang bisa dicopot-copot sehingga bisa
dipakai lagi pada cara lain. Tentu ini menghemat biaya.
Ketiga; meyakinkan
pemilih bahwa caleg bersagkutan dapat memenuhi kebutuhan pemilih. Point ketiga
ini merupakan hal paling penting namun sulit dilakukan. Jika caleg itu tidak
bisa menyakinkan masyarakat, tentu masyarakat enggan memilihnya pada hari
pencoblosan. Karena itu, sebelum terjun ke masyarakat, seorang caleg harus membuat
merk (citra) tentang dirinya.
Merk inilah
yang akan dipasarkan kepada masyarakat pemilih. Bentuk aktivitas public
relations ini harus disesuaikan dengan citra diri yang akan dibangun. Contoh,
Jokowi selalu blusukan ke masyarakat. Hal ini dilakukannya untuk mencitrakan
diri sebagai seorang pejabat yang peduli dengan masyarakat. Kegiatan ini harus
konsisten dan tidak boleh sesaat saja. Karena itu, harus memerlukan waktu yang
panjang.
Mengingat
masa kampanye hanya 3 – 4 bulan lagi, tentu sulit bagi caleg untuk melakukan
kegiatan political public relations saja. Jika melakukan hal ini saja maka
hasil yang didapat tentu sangat kecil. Karena itu, seorang caleg harus
mengkombinasikan antara political advertising dengan political public relations.
Dalam ilmu komunikasi pemasaran, cara ini disebut dengan Komunikasi Pemasaran
Terpadu (Integrated Marketing Communication/ IMC). Caranya, pada saat
caleg terjun ke masyarakat media massa harus dilibatkan.
Tentu anda
bertanya; mengapa kegiatan blusukan Jokowi diberitakan di semua media? Apakah
wartawan yang meliput kegiatan itu cuma kebetulan saja? Jawabnya tentu tidak.
Sebelum melakukan blusukan itu, tim sudah mengontak sejumlah awak media untuk
meliput kegiatan itu. Bentuk peliputan bisa direkayasa sedemikian rupa,
seolah-olah wartawan menemui acara itu secara tidak sengaja. Maka, kegiatan itu
pun jadi buah bibir orang.
Dari
pengamatan selintas, hanya sedikit caleg yang melakukan hal itu. Selain biaya
yang relatif besar, calon anggota legislatif ini tidak memiliki tim kampanye
yang mempuni. Kebanyakan Tim Kampanye caleg hanyalah orang-orang terdekat yang
tidak mengetahui Ilmu Komunikasi Pemasaran.
Akibatnya, cara kampanye caleg hanya sebatas memasang spanduk, poster atau
baliho. Paling hebat, caleg membuat pertemuan terbatas. Yang perlu dingat, hal
itu semua untuk memasarkan citra diri caleg itu. Sialnya, baik caleg maupun tim
kampanye tidak pernah memikirkan citra diri seperti apa yang cocok untuk caleg
bersagkutan. Kalau begini, jangan berharap kampanye akan berhasil. Solusi
pintas pun ditempuh. Solusi pintas itu tidak lain adalah money politic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar