Minggu, 22 Desember 2013

KAMPANYE SALAH KAPRAH



KAMPANYE SALAH KAPRAH
Oleh      : Muhammad Hidayat

 Media memberitakan caleg melanggar aturan kampanye. Dalam Peraturan KPU No 15 tahun 2013 disebutkan, caleg DPR RI dan DPRD hanya dibenarkan memasang spanduk dengan ukuran 1,5 x 7 meter, sebanyak satu buah dalam setiap zona yang ditetapkan. Baliho atau billboard hanya digunakan oleh parpol dan calon anggota DPD. Pemasangan baliho atau billboard oleh parpol juga dibatasi jumlahnya. Parpol hanya boleh memasang satu unit billboard di satu desa. Pada billboard itu, parpol tidak boleh memajang gambar pengurus yang mencalonkan diri. Selain itu, bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh partai politik.
Faktanya, banyak calon anggota legislatif yang melanggar ketentuan ini. Banyak caleg memasang spanduk lebih dari satu unit pada satu zona yang ditetapkan oleh KPUD. Karena semangat terlalu menggebu, beca bermotor dan angkot juga dipasangi gambar caleg. Yang paling menyedihkan, pohon-pohon pun ditempeli poster caleg. Padahal memasang poster pada sarana publik, di taman dan pohon dilarang.
Dari fenomena pelanggaran kampanye ini dapat disimpulkan dua hal.  Pertama; sebagian besar caleg adalah orang yang tidak taat pada peraturan. UUD 1945 menyebutkan KPU adalah lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilu. Lembaga ini diberi wewenang membuat aturan tertentu tentang pelaksanaan tahapan Pemilu. Ketika KPU telah membuat aturan tata cara kampanye, kenyataannya sebagian besar caleg tidak mematuhinya. Hal ini bisa dijadikan indikator untuk menyebut caleg tidak taat aturan.
Kedua; mayoritas calon anggota legislatif tidak mengetahui cara kampanye yang baik. Meski kampanye berulang kali digelar, namun cara berkampanye caleg tetap konvensional. Lebih dari itu, calon aggota legislatif ini tidak peka dengan perubahan aturan tata cara Pemilu. Tulisan ini menyoroti efektivitas alat peraga kampanye yang dipasang para caleg DPR dan DPRD.

Alat Peraga yang Mubazir

Pada Pemilu 2014, tata cara kampanye diatur dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Aturan ini dijelaskan lebih rinci dalam Keputusan KPU No 15 tahun 2013 tentang Kampanye.  Satu hal yang perlu diingat adalah korelasi antara surat suara, pencoblosan dengan pelaksanaan kampanye. Pada Pemilu kali ini ada perbedaan surat surat suara antara caleg DPR RI, DPRD dengan calon anggota DPD. Surat suara untuk caleg DPR RI, DPRD  tidak memuat gambar caleg. Surat suara itu hanya memuat tanda gambar partai politik, nomor urut parpol, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan. Sementara itu surat suara untuk calon anggota DPD memuat gambar dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan. Ketentuan ini dimuat pada pasal 143 UU No 8 tahun 2012.
Merujuk pada ketentuan ini, seharusnya yang perlu disosialisasikan caleg DPR dan DPRD adalah nomor urut dan nama celeg termasuk gambar dan nomor urut parpol. Tahap pertama caleg harus mengenalkan tanda gambar dan nomor urut parpol. Karena, begitu surat suara terbuka yang pertama terlihat pemilih adalah tanda gambar parpol. Setelah menemukan tanda gambar parpol barulah pemilih akan menncari nomor urut atau nama caleg bersangkutan.
Lazimnya, dalam sebuah alat peraga – misalnya baliho atau poster – gambar caleg mengambil porsi terbesar. Sedangkan nomor urut dan nama caleg itu sendiri ditulis pada bagian bawah dengan ukuran lebih kecil. Dengan kondisi demikian hal pertama yang diperhatikan masyarakat pada poster itu adalah gambar caleg. Biasanya, masyarakat enggan meluangkan waktu untuk membaca tulisan yang tertera dibawah gambar itu. Apalagi tulisannya sangat kecil. Maka secara psikologis, hal yang diingat calon pemilih adalah gambar bukan nomor urut caleg, apalagi nama lengkap caleg. Maka, pada bilik suara pemilih akan kerepotan mengingat nama dan nomor urut caleg bersangkutan. Ingat, pada surat suara tidak ada gambar calon anggota legislatif.
Tidak sedikit pula caleg yang membuat poster, baliho atau spanduk berkongsi dengan caleg lain dalam satu partai. Secara ekonomis, memang cara ini dapat menghemat biaya. Contohnya, caleg DPR membuat baliho bersama caleg DPRD Kabupaten/ kota. Yang menarik, caleg yang berkampanye bersama ini tidak sama nomor urutnya. Bisa saja, caleg nomor urut 1 DPR RI berkampanye bersama caleg nomor urut 8 DPRD Kabupaten. Maka dalam baliho itu memuat tiga tanda gambar, yaitu; gambar partai, gambar caleg DPR dan caleg DPRD. Biasanya, pada poster gambar caleg lebih besar dibandingkan tanda gambar parpol. Selain gambar caleg yang banyak, nomor urut caleg bersangkutan juga berbeda.
Baliho seperti ini akan menyulitkan masyarakat untuk mengingat caleg bersangkutan. Pasalnya, masyarakat harus mengingat tiga nomor sekaligus, yaitu nomor urut partai, nomor urut caleg DPR dan nomor urut caleg DPRD Kabupaten. Belum lagi menghafal nama caleg yang bersangkutan, tentu semakin memusingkan pemilih. Ingat, surat suara itu tidak dilengkapi dengan gambar caleg. Dengan demikian, dipastikan pemasangan alat peraga kampanye itu tidak akan membawa hasil maksimal.
Hal yang lebih konyol lagi, dalam satu poster atau baliho memuat tiga orang caleg. Misalnya, caleg DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Kalau nomor urutnya sama, tentu tidak jadi soal. Jika nomor urutnya berbeda, maka semakin sulitlah masyarakat mengingatnya. Kesulitan ini semakin diperparah lagi dengan gambar ketua umum partai. Tidak sedikit poster atau baliho para caleg memuat gambar ketua umum partainya.
Sebenarnya memasang gambar bisa dilakukan sepanjang tidak menghilangkan tujuan utama. Sekali lagi, pada Pemilu ini surat suara tidak dilengkapi gambar caleg DPR dan DPRD. Karena itu, pemasangan alat peraga bertujuan mengenalkan nomor urut dan nama caleg.  Pemasangan gambar dapat dilakukan untuk menarik perhatian orang untuk mengamati poster itu lebih detil. Misalnya, memasang gambar diri dengan dengan bentuk karikatur lucu. Kelucuan gambar ini akan membuat masyarakat lebih jeli mengamati poster itu.
               
Komunikasi Pemasaran Terpadu
Dalam ilmu Komunikasi Pemasaran disebutkan, pemasaran politik dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok, yaitu; political advertising dan political public relations. Pemasangan poster, baliho atau spanduk adalah bentuk political advertising. Kampanye jenis ini hemat waktu, jangkauan massa lebih besar. Namun memakan biaya besar dan efektivitasnya sangat kecil. Sebaliknya, political public relations lebih signifikan untuk merubah perilaku politik orang.  Tetapi massa yang tercover sangat terbatas. Karena itu, butuh waktu yang panjang.
Mengingat surat suara tidak dilengkapi gambar, maka cara jitu yang dilakukan caleg adalah political public relations. Caleg harus rajin membuat pertemuan dengan pemilih. Saat bertemu dengan pemilih, caleg harus melakukan tiga hal. Pertama; memberitahu tata cara memilih, termasuk bentuk surat suara. Kedua; mengenalkan gambar dan nomor urut partai, nomor urut dan nama lengkap caleg bersangkutan. Nama lengkap yang dipromosikan kepada pemilih harus sesuai dengan surat suara. Alat peraga yang digunakan cukup satu spanduk atau baliho serta kartu nama yang berisi nomor urut dan nama lengkap. Kartu nama ini disebarkan dalam acara tersebut. Caleg juga bisa menggunakan baliho yang bisa dicopot-copot sehingga bisa dipakai lagi pada cara lain. Tentu ini menghemat biaya.
Ketiga; meyakinkan pemilih bahwa caleg bersagkutan dapat memenuhi kebutuhan pemilih. Point ketiga ini merupakan hal paling penting namun sulit dilakukan. Jika caleg itu tidak bisa menyakinkan masyarakat, tentu masyarakat enggan memilihnya pada hari pencoblosan. Karena itu, sebelum terjun ke masyarakat, seorang caleg harus membuat merk (citra) tentang dirinya.
Merk inilah yang akan dipasarkan kepada masyarakat pemilih. Bentuk aktivitas public relations ini harus disesuaikan dengan citra diri yang akan dibangun. Contoh, Jokowi selalu blusukan ke masyarakat. Hal ini dilakukannya untuk mencitrakan diri sebagai seorang pejabat yang peduli dengan masyarakat. Kegiatan ini harus konsisten dan tidak boleh sesaat saja. Karena itu, harus memerlukan waktu yang panjang.
Mengingat masa kampanye hanya 3 – 4 bulan lagi, tentu sulit bagi caleg untuk melakukan kegiatan political public relations saja. Jika melakukan hal ini saja maka hasil yang didapat tentu sangat kecil. Karena itu, seorang caleg harus mengkombinasikan antara political advertising dengan political public relations. Dalam ilmu komunikasi pemasaran, cara ini disebut dengan Komunikasi Pemasaran Terpadu (Integrated Marketing Communication/ IMC). Caranya, pada saat caleg terjun ke masyarakat media massa harus dilibatkan.
Tentu anda bertanya; mengapa kegiatan blusukan Jokowi diberitakan di semua media? Apakah wartawan yang meliput kegiatan itu cuma kebetulan saja? Jawabnya tentu tidak. Sebelum melakukan blusukan itu, tim sudah mengontak sejumlah awak media untuk meliput kegiatan itu. Bentuk peliputan bisa direkayasa sedemikian rupa, seolah-olah wartawan menemui acara itu secara tidak sengaja. Maka, kegiatan itu pun jadi buah bibir orang.
Dari pengamatan selintas, hanya sedikit caleg yang melakukan hal itu. Selain biaya yang relatif besar, calon anggota legislatif ini tidak memiliki tim kampanye yang mempuni. Kebanyakan Tim Kampanye caleg hanyalah orang-orang terdekat yang tidak mengetahui Ilmu Komunikasi Pemasaran.  Akibatnya, cara kampanye caleg hanya sebatas memasang spanduk, poster atau baliho. Paling hebat, caleg membuat pertemuan terbatas. Yang perlu dingat, hal itu semua untuk memasarkan citra diri caleg itu. Sialnya, baik caleg maupun tim kampanye tidak pernah memikirkan citra diri seperti apa yang cocok untuk caleg bersagkutan. Kalau begini, jangan berharap kampanye akan berhasil. Solusi pintas pun ditempuh. Solusi pintas itu tidak lain adalah money politic.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar