Indonesia
Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?
Oleh
: Muhammad Hidayat
Alumnus
Pascasarjana IAIN SU
Pemerintah
menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) di tahun 2013 sebesar 72 juta
ton, lebih tinggi dari tahun lalu. Sebagai pendukung, petani dibekali dengan
benih varietas unggul. Hal ini diungkapkan Menteri Pertanian Suswono saat
melakukan panen benih padi varietas mekongga kelas benih sebar di persawahan
Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk (UPT BBI) Padi Murni Tanjung Morawa,
Jumat (11/1) di Medan.
Target
pemerintah ini bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Ketersediaan benih
unggul dan pupuk subsidi merupakan problema akut. Selain itu, lahan pertanian
terus berkurang. Setiap tahun, 100.000 hektare lahan pertanian berubah menjadi
perkebunan sawit. Hal ini juga dinyatakan Menteri Pertanian pada acara yang
sama. Mentan mengaku saat melakukan perjalanan Medan – Langsa (Aceh) menemukan
banyak sawah produktif yang berubah menjadi perkebunan sawit. (Lihat Medan
Bisnis, hal 4)
Penyusutan lahan sawah tidak hanya disebabkan
petani beralih ke sawit. Alih fungsi lahan pertanian terbesar sebenarnya ke
sektor properti. Seandainya Menteri Pertanian lebih teliti, ia pasti
menyaksikan lahan sawah telah disulap menjadi kompleks perumahan mewah
sepanjang Medan – Langsa yang dilaluinya.
Saat
itu hanya tersedia lahan 13,20 juta hektar. Jika areal sawah tidak ditambah, tahun
2015 Indonesia terancam mengalami defisit 730.000 (0,73 juta) hektar. Perhitungan
ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk. Tahun 2015 jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan 255 juta jiwa dengan asumsi konsumsi beras per kapita
135,1 kilogram per kapita/tahun. Untuk memenuhi konsumsi akan dibutuhkan lahan
tanaman padi 13,38 juta hektar.
Akibat
kekurangan lahan, tidak heran Indonesia membutuhkan pencetakan lahan baru. Pada
tahun 2011 lalu, Pemerintah telah berencana membuka 200.000 hektar lahan pertanian
baru untuk mengejar surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Areal hutan yang
bisa dialihfungsikan ini masuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
dengan luas 9,09 juta hektar.
Menimbang Solusi
Selintas
persoalan pangan di Indonesia sangat sederhana. Kekurangan lahan, solusinya
membuka lahan baru. Untuk meningkatkan produksi, caranya benih unggul dan
pupuk. Mengatasi peralihan fungsi lahan solusinya membuat Kepres larangan alih
fungsi lahan. Persoalan terberat, apakah pemerintah mau mengerjakanya?
Pemerintah harus berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Pemerintah dituntut membuat kebijakan yang konprehensif dan tidak parsial.
Kebijakan dimulai dengan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah secara nasional
yang ditopang kebijakan lainnya. Kebijakan lain yang diperlukan adalah larangan
konversi lahan, penyediaan benih dan pupuk subsidi, larangan impor produk holtikultura,
termasuk larangan warga asing memiliki properti.
Kekurangan
lahan di Indonesia disebabkan pemerintah tidak tegas mengatur Rencana Tata
Ruang Wilayah. Akibatnya, lahan pertanian dialih-fungsikan untuk keperluan
lainnya, seperti pemukiman. Pemerintah juga tidak menjaga ketersedian pupuk
sehingga sulit diperoleh dan harga tinggi. Ongkos pertanian pun melambung.
Sialnya, harga gabah rendah. Petani
akhirnya beralih ke sektor lain yang menguntungkan seperti sawit.
Selain itu
pemerintah membuka keran impor besar-besaran sehingga harga komoditas pertanian
lokal anjlok. Saat kondisi seperti ini, para pengembang pun datang menawar tanah
pertanian dengan harga tinggi. Tawaran ini tentu menggiurkan petani. Lahan padi pun
berubah menjadi ladang beton.
Seiring pembukaan areal sawah baru, pemerintah
harus menerbitkan aturan larangan konversi lahan pertanian ke sektor lain.
Pemerintah daerah juga harus membuat Rencana Tata Ruang Wilayah untuk jangka
panjang. Selain itu, pemerintah daerah tidak dibenarkan menerbitkan Surat Izin
Mendirikan Bangunan di areal persawahan. Jika ini tidak dilakukan, alih fungsi
lahan akan terus terjadi meski lahan baru terus dibuka.
Selain itu, pemerintah hendaknya tetap
memberlakukan larangan warga asing memiliki properti di Indonesia. Jika
pemerintah mengizinkan warga asing memiliki properti, bisnis properti di
Indonesia pasti semakin meningkat. Di
saat bisnis properti booming, harga tanah pun melambung tinggi. Petani tentu tergiur
untuk menjual tanahnya kepada pengembang. Akibatnya, lahan pertanian pun menyusut
kembali. Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi pertanian. Produksi beras tentu
tidak akan memenuhi target.
Sejak gerakan Revolusi Hijau dilakukan Orde
Baru, petani tergantung pada bibit unggul dan pupuk. Sialnya, bibit unggul dan
pupuk tidak mencukupi kebutuhan petani. Berita kelangkaan pupuk bersubsidi
sudah menjadi berita biasa. Akibatnya, petani menggunakan pupuk non subsidi
dengan harga tinggi. Sementera untuk memenuhi kebutuhan benih, petani terpaksa
menggunakan bibit sembarangan. Dengan kondisi seperti ini hasil produksi tidak
memenuhi target dan merugikan petani.
Tahun 2014, Pemilu Legislatif dan Presiden akan
digelar. Pemerintahan Indonesia akan berganti. Pertanyaanya, apakah pemerintahan
baru serius mewujudkan kemandirian pangan? Entahlah.(tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar