Senin, 23 Desember 2013

Indonesia Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?



Indonesia Negara Mandiri Pangan, Mungkinkah?
Oleh : Muhammad Hidayat
Alumnus Pascasarjana IAIN SU
Pemerintah menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) di tahun 2013 sebesar 72 juta ton, lebih tinggi dari tahun lalu. Sebagai pendukung, petani dibekali dengan benih varietas unggul. Hal ini diungkapkan Menteri Pertanian Suswono saat melakukan panen benih padi varietas mekongga kelas benih sebar di persawahan Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk (UPT BBI) Padi Murni Tanjung Morawa, Jumat (11/1) di Medan.
Target pemerintah ini bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Ketersediaan benih unggul dan pupuk subsidi merupakan problema akut. Selain itu, lahan pertanian terus berkurang. Setiap tahun, 100.000 hektare lahan pertanian berubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini juga dinyatakan Menteri Pertanian pada acara yang sama. Mentan mengaku saat melakukan perjalanan Medan – Langsa (Aceh) menemukan banyak sawah produktif yang berubah menjadi perkebunan sawit. (Lihat Medan Bisnis, hal 4)
Penyusutan lahan sawah tidak hanya disebabkan petani beralih ke sawit. Alih fungsi lahan pertanian terbesar sebenarnya ke sektor properti. Seandainya Menteri Pertanian lebih teliti, ia pasti menyaksikan lahan sawah telah disulap menjadi kompleks perumahan mewah sepanjang Medan – Langsa yang dilaluinya.
            Saat itu hanya tersedia lahan 13,20 juta hektar. Jika areal sawah tidak ditambah, tahun 2015 Indonesia terancam mengalami defisit 730.000 (0,73 juta) hektar. Perhitungan ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk. Tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 255 juta jiwa dengan asumsi konsumsi beras per kapita 135,1 kilogram per kapita/tahun. Untuk memenuhi konsumsi akan dibutuhkan lahan tanaman padi 13,38 juta hektar.
            Akibat kekurangan lahan, tidak heran Indonesia membutuhkan pencetakan lahan baru. Pada tahun 2011 lalu, Pemerintah telah berencana membuka 200.000 hektar lahan pertanian baru untuk mengejar surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Areal hutan yang bisa dialihfungsikan ini masuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan luas 9,09 juta hektar.

Menimbang Solusi
Selintas persoalan pangan di Indonesia sangat sederhana. Kekurangan lahan, solusinya membuka lahan baru. Untuk meningkatkan produksi, caranya benih unggul dan pupuk. Mengatasi peralihan fungsi lahan solusinya membuat Kepres larangan alih fungsi lahan. Persoalan terberat, apakah pemerintah mau mengerjakanya?
Pemerintah harus berkomitmen untuk mewujudkan kemandirian pangan. Pemerintah dituntut membuat kebijakan yang konprehensif dan tidak parsial. Kebijakan dimulai dengan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah secara nasional yang ditopang kebijakan lainnya. Kebijakan lain yang diperlukan adalah larangan konversi lahan, penyediaan benih dan pupuk subsidi, larangan impor produk holtikultura, termasuk larangan warga asing memiliki properti.
Kekurangan lahan di Indonesia disebabkan pemerintah tidak tegas mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah. Akibatnya, lahan pertanian dialih-fungsikan untuk keperluan lainnya, seperti pemukiman. Pemerintah juga tidak menjaga ketersedian pupuk sehingga sulit diperoleh dan harga tinggi. Ongkos pertanian pun melambung. Sialnya, harga gabah rendah.  Petani akhirnya beralih ke sektor lain yang menguntungkan seperti sawit.
Selain itu pemerintah membuka keran impor besar-besaran sehingga harga komoditas pertanian lokal anjlok. Saat kondisi seperti ini, para pengembang pun datang menawar tanah pertanian dengan harga tinggi. Tawaran ini  tentu menggiurkan petani. Lahan padi pun berubah  menjadi ladang beton.  
Seiring pembukaan areal sawah baru, pemerintah harus menerbitkan aturan larangan konversi lahan pertanian ke sektor lain. Pemerintah daerah juga harus membuat Rencana Tata Ruang Wilayah untuk jangka panjang. Selain itu, pemerintah daerah tidak dibenarkan menerbitkan Surat Izin Mendirikan Bangunan di areal persawahan. Jika ini tidak dilakukan, alih fungsi lahan akan terus terjadi meski lahan baru terus dibuka.
Selain itu, pemerintah hendaknya tetap memberlakukan larangan warga asing memiliki properti di Indonesia. Jika pemerintah mengizinkan warga asing memiliki properti, bisnis properti di Indonesia  pasti semakin meningkat. Di saat bisnis properti booming, harga tanah pun melambung tinggi. Petani tentu tergiur untuk menjual tanahnya kepada pengembang. Akibatnya, lahan pertanian pun menyusut kembali. Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi pertanian. Produksi beras tentu tidak akan memenuhi target.
Sejak gerakan Revolusi Hijau dilakukan Orde Baru, petani tergantung pada bibit unggul dan pupuk. Sialnya, bibit unggul dan pupuk tidak mencukupi kebutuhan petani. Berita kelangkaan pupuk bersubsidi sudah menjadi berita biasa. Akibatnya, petani menggunakan pupuk non subsidi dengan harga tinggi. Sementera untuk memenuhi kebutuhan benih, petani terpaksa menggunakan bibit sembarangan. Dengan kondisi seperti ini hasil produksi tidak memenuhi target dan merugikan petani.  
Tahun 2014, Pemilu Legislatif dan Presiden akan digelar. Pemerintahan Indonesia akan berganti. Pertanyaanya, apakah pemerintahan baru serius mewujudkan kemandirian pangan? Entahlah.(tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar